Rabu 27 Apr 2022 09:06 WIB

Putin Masih Berharap Dialog Bisa Akhiri Konflik Ukraina

Proses negosiasi terjegal oleh tudingan yang menyebut Rusia membantai warga sipil.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Kendaraan yang rusak dan terbakar terlihat di bagian yang hancur dari Pabrik Metalurgi Illich Iron & Steel Works, saat asap mengepul dari Metallurgical Combine Azovstal selama pertempuran sengit, di daerah yang dikendalikan oleh pasukan separatis yang didukung Rusia di Mariupol, Ukraina, Senin, April 18, 2022.
Foto: AP Photo/Alexei Alexandrov
Kendaraan yang rusak dan terbakar terlihat di bagian yang hancur dari Pabrik Metalurgi Illich Iron & Steel Works, saat asap mengepul dari Metallurgical Combine Azovstal selama pertempuran sengit, di daerah yang dikendalikan oleh pasukan separatis yang didukung Rusia di Mariupol, Ukraina, Senin, April 18, 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, dia masih berharap dialog dapat mengakhiri konflik bersenjata di Ukraina. Hal itu disampaikan saat Putin melangsungkan pertemuan dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres di Moskow, Selasa (26/4/2022).

"Terlepas dari kenyataan bahwa operasi militer sedang berlangsung, kami masih berharap bahwa kami akan dapat mencapai kesepakatan di jalur diplomatik. Kami sedang bernegosiasi, kami tidak menolak (pembicaraan)," kata Putin kepada Guterres.

Baca Juga

Kendati demikian, Putin menjelaskan, proses negosiasi telah terjegal oleh tudingan yang menyebut pasukan Rusia membantai warga sipil di Bucha, Ukraina. “Ada provokasi di desa Bucha, yang tidak ada hubungannya dengan tentara Rusia,” ucap Putin.

Dia mengklaim mengetahui siapa yang menyiapkan provokasi semacam itu dan bagaimana mereka menjalankannya. Namun Putin tak mengungkap secara gamblang siapa pihak yang dimaksud. Pada kesempatan itu, Putin mengaku mengetahui kekhawatiran Guterres tentang operasi militer Rusia di Ukraina. Putin pun menyatakan siap membahasnya.

Menurut juru bicara Antonio Guterres, Stephane Dujarric, dalam pertemuan di Moskow, Putin mendukung keterlibatan PBB dan Komite Internasional untuk Palang Merah (ICRC) dalam proses evakuasi warga sipil dari pabrik baja Azovstal di Mariupol, Ukraina. "Diskusi lanjutan akan dilakukan dengan Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan dan Kementerian Pertahanan Rusia," kata Dujarric. 

Pasukan Rusia diketahui telah mengepung Mariupol selama sekitar sebulan terakhir. Pabrik baja Azovstal menjadi benteng terakhir pasukan Ukraina di sana. Warga sipil turut berlindung di tempat tersebut. Pada Kamis pekan lalu, Putin mengklaim bahwa pasukan Rusia telah memenangkan pertempuran di Mariupol. Karena telah memenangkan pertempuran, Putin membatalkan operasi untuk menyerbu pabrik baja Azovstal.

“Dalam hal ini, kami perlu memikirkan, maksud saya, kami selalu perlu memikirkannya, tapi khususnya dalam kasus ini, kami perlu berpikir tentang melindungi nyawa serta kesehatan prajurit dan perwira kami. Tidak ada alasan untuk menembus jalur bawah tanah ini dan di bawah fasilitas industri ini," kata Putin saat membatalkan operasi penyerbuan pabrik baja Azovstal, dilaporkan kantor berita Rusia, TASS.

Kendati demikian, Putin memerintahkan agar pabrik itu diblokir secara ketat. Setelah itu pasukan Ukraina akan diminta menyerah dan meletakkan senjata mereka dengan imbalan pengampunan atau amnesti. Sebelum ada perintah pembatalan penyerbuan, Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu mengatakan, pasukan negaranya diperkirakan hanya membutuhkan waktu tiga atau empat hari lagi untuk merebut kendali atas pabrik baja Azovstal. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement