Senin 30 May 2022 21:28 WIB

Menlu Rusia: Barat Doktrin Ukraina untuk Jadi Musuh Rusia

Rusia sedang memfokuskan pertempurannya di Donbas.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Dwi Murdaningsih
 Seorang pria melihat puing-puing benda tak dikenal setelah ledakan di Kiev, Ukraina, 24 Februari 2022. Presiden Rusia mengizinkan operasi militer khusus di wilayah Donbass Ukraina. Pasukan Rusia memasuki Ukraina sementara Presiden negara itu Volodymyr Zelensky berbicara kepada bangsa itu untuk mengumumkan pemberlakuan darurat militer.
Foto: EPA-EFE/MIKHAIL PALINCHAK
Seorang pria melihat puing-puing benda tak dikenal setelah ledakan di Kiev, Ukraina, 24 Februari 2022. Presiden Rusia mengizinkan operasi militer khusus di wilayah Donbass Ukraina. Pasukan Rusia memasuki Ukraina sementara Presiden negara itu Volodymyr Zelensky berbicara kepada bangsa itu untuk mengumumkan pemberlakuan darurat militer.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, Barat secara sengaja mencoba mengadu Ukraina dengan negaranya. Hal itu turut menjadi alasan mengapa konflik di Ukraina masih berlangsung hingga kini.

“Sulit untuk memahami apa yang terjadi sekarang tanpa melihat sejarah lama tentang bagaimana Barat mengindoktrinasi Ukraina untuk menjadi musuh Rusia. Tidak ada keraguan bahwa itu adalah upaya yang disengaja,” kata Lavrov dalam wawancara dengan stasiun televisi Prancis, TF1, Ahad (29/5), dilaporkan kantor berita Rusia TASS.

Baca Juga

Pada kesempatan itu, Lavrov kembali menjelaskan alasan Rusia menggelar “operasi militer khusus” di Ukraina. Dia mengungkapkan, operasi itu bertujuan melindungi warga Rusia yang tinggal di negara tersebut.

Selain itu Moskow pun hendak melakukan demiliterisasi di Ukraina. Sebab menurut Lavrov, Kiev seharusnya tidak memiliki senjata yang dapat mengancam keamanan Rusia.

Lavrov pun masih mempertahankan argumen tentang proses “de-Nazifikasi” Ukraina. Hal itu turut menjadi alasan Rusia menyerang tetangganya. “Teori dan prakti Nazi serta Neo-Nazi berakar kuat dalam ‘struktur’ kehidupan di Ukraina, serta disegel dalam undang-undang negara,” ujarnya.

Saat ini Moskow sedang memfokuskan pertempurannya di Donbas, sabuk pertambangan yang terdiri dari wilayah Luhansk dan Donetsk. Pasukan Rusia sudah menguasai sebagian besar Luhansk. Jika kemajuan terus diraih Rusia, Ukraina telah menyatakan akan menarik pasukannya dari wilayah tersebut.

Di tengah perkembangan tersebut, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyatakan tidak akan lagi melaksanakan komitmen masa lalu untuk tidak mengerahkan pasukannya ke Eropa Timur. Wakil Sekretaris Jenderal NATO Mircea Geoana mengungkapkan, di bawah NATO-Russia Founding Act tahun 1997, yang dimaksudkan mengatur hubungan NATO-Rusia, kedua belah pihak sepakat mencegah penumpukan kekuatan konvensional yang berpotensi mengancam di wilayah Eropa, termasuk Eropa Tengah dan Timur. Namun menurut Geoana, Moskow telah “membatalkan” apa pun isi dalam perjanjian tersebut.

“Mereka (Rusia) mengambil keputusan, mereka membuat kewajiban di sana untuk tidak menyerang tetangga, yang mereka lakukan, dan untuk berkonsultasi secara teratur dengan NATO, yang tidak mereka lakukan. Jadi saya pikir sebenarnya Founding Act ini pada dasarnya tidak berfungsi karena Rusia,” kata Geoana saat berbicara di ibu kota Lithuania, Vilnius, Ahad.

Menurut dia, Rusia telah secara efektif menjauh dari ketentuan Founding Act. “Sekarang kami tidak memiliki batasan untuk memiliki postur yang kuat di sayap timur serta untuk memastikan bahwa setiap inci persegi wilayah NATO dilindungi oleh Pasal 5 dan sekutu kami,” ujarnya.

Pasal 5 NATO mengacu pada pertahanan kolektif. Di dalamnya disebut bahwa serangan terhadap satu anggota merupakan serangan terhadap semua anggota. Geoana tidak memberikan perincian tentang penempatan yang direncanakan di Eropa Timur. Dia hanya mengatakan aka nada “kehadiran yang kuat, fleksibel, dan berkelanjutan” di wilayah itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement