REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Juri agung Amerika Serikat (AS) mendakwa pelaku penembakan di Tops Friendly Market di Buffalo, New York dengan kejahatan terorisme domestik. Payton Gendron (18 tahun) melakukan penembakan secara brutal di supermarket tersebut dan menewaskan 10 orang Afrika-Amerika.
Tindakan Gendron ini dimotivasi oleh kebencian rasial. Juri agung pada Rabu (1/6/2022) juga mendakwa Gendron dengan tuduhan pembunuhan tingkat pertama.
Gendron juga menghadapi tuduhan kepemilikan senjata dan percobaan pembunuhan sebagai kejahatan kebencian. Dia telah ditahan sejak serangan pada 14 Mei dan dijadwalkan hadir dalam sidang di Pengadilan Erie County di New York, pada Kamis (2/6/2022).
Penembakan mematikan itu memicu kemarahan publik dan seruan untuk menangani kekerasan supremasi kulit putih. Gendron dilaporkan mendukung pandangan rasis dan anti-Kulit Hitam. Hal ini terkuak dalam sebuah manifesto yang diunggah oleh Gendron sebelum menargetkan toko kelontong di lingkungan yang didominasi komunitas Asia-Afrika di Buffalo.
Penyelidik AS mengatakan, Gendron berkendara sekitar tiga jam dari rumahnya di Conklin, New York. Dia berniat membunuh sebanyak mungkin orang Afrika-Amerika.
Gendron sebelumnya telah didakwa dengan pembunuhan tingkat pertama. Namun dia mengaku tidak bersalah.
Pada 20 Mei, jaksa mengatakan kepada hakim bahwa dewan juri telah memilih untuk mendakwa Gendron dan tetap melanjutkan penyelidikan. Pengacara Gendron, Brian Parker mengaku belum melihat dakwaan dan tidak dapat berkomentar. Kantor berita Associated Press melaporkan, jaksa penuntut dan pengacara telah dilarang oleh hakim untuk membahas kasus tersebut secara terbuka.
Dalam kurun waktu dua minggu setelah serangan Buffalo, seorang pria bersenjata di Texas melepaskan tembakan ke ruang kelas empat di Robb Elementary School, yang terletak di kota kecil Uvalde. Insiden ini menewaskan 19 siswa dan dua guru. Penembakan itu mendorong tuntutan untuk memberlakukan undang-undang kontrol senjata yang lebih ketat di AS, untuk mengatasi lonjakan pembunuhan terkait senjata.
Menurut Arsip Kekerasan Senjata, hingga Rabu, sejauh ini AS telah melaporkan 231 penembakan massal. Namun terlepas dari tindakan kekerasan senjata api, pengendalian senjata api tetap sulit diterapkan di AS. Karena kelompok lobi senjata memiliki pengaruh politik yang luar biasa dan sebagian besar politisi sayap kanan menentang pembatasan tersebut.
Presiden AS Joe Biden bersumpah untuk “terus mendorong” perubahan undang-undang pengendalian senjata api. "Saya pikir keadaan menjadi sangat buruk sehingga semua orang menjadi lebih rasional tentang hal itu," ujarnya.
Beberapa anggota parlemen federal utama juga telah menyuarakan optimisme yang hati-hati. Sekelompok senator bipartisan berdiskusi sepanjang akhir pekan untuk mengejar kemungkinan area kompromi. Mereka dilaporkan fokus pada undang-undang untuk menaikkan usia pembelian senjata atau mengizinkan polisi untuk mengambil senjata dari orang-orang yang dianggap sebagai ancaman bagi diri mereka sendiri atau orang lain. Tetapi mereka tidak mengusulkan larangan kepemilikan senapan berkekuatan tinggi seperti senjata yang digunakan dalam penembakan di Uvalde dan Buffalo.