Kamis 09 Jun 2022 06:48 WIB

AS: Bashar Al-Assad Jadi Penghambat Solusi Politik Suriah 

Pemerintahan Biden tak berniat mencabut sanksi terhadap rezim Assad.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Bashar Al-Assad. Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden tak memiliki rencana untuk melakukan normalisasi hubungan dengan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Foto: myfirstclasslife.com
Bashar Al-Assad. Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden tak memiliki rencana untuk melakukan normalisasi hubungan dengan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden tak memiliki rencana untuk melakukan normalisasi hubungan dengan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad. Pemerintahan Biden pun tak berniat mencabut sanksi terhadap rezim Assad.

Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Timur Dekat Barbara Leaf mengatakan, Assad dan kroni-kroninya tetap menjadi satu-satunya hambatan terbesar bagi tercapainya solusi politik di Suriah. “Tanggung jawab utama atas tragedi yang berkelanjutan ini terletak pada Bashar al-Assad, yang didukung oleh Rusia dan Iran, yang membawa negaranya ke keadaan yang mengerikan ini dan tetap keras kepala, menolak untuk memberikan harapan apa pun kepada Suriah untuk masa depan yang lebih baik,” ucap Leaf saat berbicara di Komite Luar Negeri Senat AS, Rabu (8/6/2022).

Baca Juga

Dia mengatakan, saat ini konflik Rusia-Ukraina tengah mengalihkan perhatian dunia dari peperangan yang terjadi di wilayah lain di dunia, termasuk Suriah. Leaf menekankan, Departemen Luar Negeri AS akan menjadikan konflik Suriah menjadi salah satu prioritas.

Leaf mengungkapkan, Washington bakal menggunakan semua “alat” yang dimilikinya untuk menekan rezim Assad, termasuk lewat sanksi. Awal tahun ini AS memang telah menyatakan tak akan mencabut sanksi terhadap Suriah sebelum ada kemajuan dalam solusi politik.

AS pun memperingatkan negara-negara yang berencana memulihkan hubungan dengan pemerintahan Bashar al-Assad agar mengurungkan niatnya. Pada Desember tahun lalu, Bahrain telah menunjuk kembali duta besar pertamanya untuk Suriah dalam satu dekade. Jabatan itu diemban Waheed Mubarak Sayyar.

Pada Maret lalu, Assad melakukan kunjungan ke Uni Emirat Arab (UEA). AS mengkritik Abu Dhabi karena telah menyambut Assad. Sejak dibekap konflik sipil pada 2011, Suriah dikeluarkan dari Liga Arab. Negara anggota Liga Arab juga mengecam Assad karena gagal bernegosiasi dengan pihak oposisi dan menggunakan kekuatan militer berlebihan untuk membungkam mereka. 

Pada Desember 2018, mantan presiden Sudan Omar al-Bashir mengunjungi Suriah dan bertemu Presiden Suriah Bashar al-Assad. Dia menjadi pemimpin negara anggota Liga Arab pertama yang mengunjungi Damaskus sejak Suriah didera konflik sipil. Dalam kunjungan itu, al-Bashir mengungkapkan harapannya bahwa Suriah dapat segera memulihkan peran pentingnya di kawasan. Ia juga menegaskan kesiapan Sudan membantu semua hal yang dibutuhkan untuk mengembalikan integritas teritorial Suriah.

Sejak saat itu, sejumlah negara anggota Liga Arab lainnya mulai mencairkan hubungannya kembali dengan Suriah. Pada akhir 2018, UEA membuka lagi kantor misi diplomatiknya di Damaskus. Oman menjadi negara pertama yang mempekerjakan lagi duta besarnya untuk Suriah pada 2020.

Pada November tahun lalu, Assad bertemu dengan menteri luar negeri UEA. Mereka menyerukan agar Suriah diterima kembali di Liga Arab. UEA adalah salah satu dari beberapa negara di kawasan yang mendukung kelompok pemberontak di Suriah. Namun peran Abu Dhabi terbilang kecil jika dibandingkan Arab Saudi dan Qatar. Hingga kini Riyadh dan Doha belum menjalin kembali hubungan dengan Damaskus. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement