REPUBLIKA.CO.ID, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dikabarkan berencana menyatakan virus monkeypox atau cacar monyet sebagai darurat kesehatan global. Hal itu menuai banyak kritik, mengingat virus ini telah lama muncul di negara-negara miskin, seperti Afrika dan Nigeria.
WHO dianggap terkesan “pilih kasih” dalam menangani wabah tersebut. Sekarang, karena telah menyebar ke berbagai negara, WHO baru menangani virus ini secara serius.
"Ketika suatu penyakit menyerang negara berkembang, itu bukan keadaan darurat. Itu hanya menjadi keadaan darurat ketika negara maju terkena dampaknya," kata Profesor Emmanuel Nakoune, penjabat direktur Institut Pasteur di Bangui, Republik Afrika Tengah, yang menjalankan uji coba pengobatan cacar monyet, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (23/6/2022).
Meski begitu, Nakoune tetap menganggap penting bagi WHO untuk menyatakan monkeypox sebagai keadaan darurat. Menurut dia, jika ada dorongan politik untuk berbagi secara adil, maka antara negara maju dan berkemban, masing-masing akan dapat diuntungkan.
Dilansir dari laman LA Times, Oyewale Tomori, ahli virologi Nigeria juga mengkritik WHO yang tidak serius menangani virus sejak bertahun-tahun lalu. Cacar monyet pernah muncul kembali di Nigeria pada 2017.
“Agak aneh jika WHO baru memanggil ahlinya ketika penyakit itu muncul di negara-negara kulit putih,” kata Tomori.
David Fidler, seorang rekan senior dalam kesehatan global di Dewan Hubungan Luar Negeri juga menyebut perhatian WHO saat ini dapat secara tidak sengaja memperburuk kesenjangan antara negara kaya dan miskin. Kesenjangan ini juga sebenarnya terlihat selama penanganan Covid-19.
“Mungkin ada alasan yang sah mengapa WHO hanya membunyikan alarm ketika cacar monyet menyebar ke negara-negara kaya, tetapi ke negara-negara miskin, itu terlihat seperti standar ganda,” ujar dia.
WHO akan mengadakan pertemuan tertutup para ahli pada Kamis malam waktu setempat di Jenewa. Masih belum jelas kapan keputusan itu akan diumumkan.
Pertemuan komite darurat pada Kamis (23/6/2022), termasuk melibatkan para ahli dari daerah yang paling terkena dampak, dan juga telah berkonsultasi dengan para ilmuwan termasuk Nakoune.
Para ahli akan membuat rekomendasi kepada Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang nantinya menciptakan keputusan akhir apakah akan menentukan status darurat atau tidak.