Jumat 01 Jul 2022 22:45 WIB

Pemimpin Tertinggi Taliban Hadiri Pertemuan Nasional di Kabul

Pemimpin tertinggi Taliban, Haibatullah Akhundzada hadir dalam pertemuan nasional

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Anggota delegasi politik dari gerakan Taliban Afghanistan. Pemimpin tertinggi Taliban Afghanistan, Haibatullah Akhundzada, bergabung dengan para pemimpin agama dari seluruh negeri di Kabul
Foto: EPA-EFE/ALEXANDER ZEMLIANICHENKO
Anggota delegasi politik dari gerakan Taliban Afghanistan. Pemimpin tertinggi Taliban Afghanistan, Haibatullah Akhundzada, bergabung dengan para pemimpin agama dari seluruh negeri di Kabul

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Pemimpin tertinggi Taliban Afghanistan, Haibatullah Akhundzada, bergabung dengan para pemimpin agama dari seluruh negeri di Kabul pada Jumat (1/7/2022). Akhundzada hadir dalam sebuah pertemuan nasional yang dihadiri oleh lebih dari 3000 peserta.

Setelah menerima janji kesetiaan dari para peserta dengan mengangkat tangan, Akhundzada mengucapkan selamat atas kemenangan Taliban. Kelompok ini mengambil alih Afghanistan pada Agustus tahun lalu, ketika pasukan asing yang dipimpin Amerika Serikat (AS) meninggalkan Kabul setelah berperang selama 20 tahun.

"Keberhasilan jihad Afghanistan tidak hanya menjadi kebanggaan bagi warga Afghanistan, tetapi juga bagi umat Islam di seluruh dunia," kata Akhundzada yang dikutip oleh Bakhtar News Agency, dengan menggunakan kata Arab yang berarti perjuangan spiritual.  

Setidaknya satu peserta dalam pertemuan itu menyerukan agar sekolah menengah untuk anak perempuan kembali dibuka.  "Mereka akan belajar dan akan menjadi panduan yang baik bagi anak-anak mereka di masyarakat," kata Sayed Nassrullah Waizi dari Provinsi Bamiyan

 

Pada Maret Taliban membatalkan pembukaan kembali sekolah bagi anak perempuan. Taliban mengatakan, sekolah akan tetap ditutup sampai sebuah rencana disusun sesuai dengan hukum Islam. Pengumuman Taliban ini membuat para siswa perempuan menangis karena mereka sangat ingin kembali ke sekolah. Keputusan ini juga menuai kecaman dari lembaga kemanusiaan, kelompok hak asasi, dan diplomat.

Wakil kepala Taliban dan penjabat Menteri Dalam Negeri, Sirajuddin Haqqani, mengatakan, dunia menuntut pemerintah dan pendidikan yang inklusif. Menurutnya, masalah tersebut membutuhkan waktu.

"Pertemuan ini adalah tentang kepercayaan, dan interaksi, kita di sini untuk membuat masa depan sesuai dengan Islam dan untuk kepentingan nasional," ujar Haqqani.

Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid mengatakan, Taliban akan menghormati keputusan yang dibuat dalam pertemuan itu. Tetapi keputusan akhir tentang pendidikan anak perempuan diserahkan pada pemimpin tertinggi.

Beberapa media lokal melaporkan suara tembakan di dekat lokasi pertemuan yang digelar di Aula Loya Jirga Universitas Politeknik Kabul. Seorang juru bicara pemerintah Taliban mengatakan, mereka telah meningkatkan keamanan selama pertemuan. Menurutnya suara tembakan yang terdengar adalah karena kesalahan penjaga keamanan.

Pertemuan itu tampak mirip dengan "loya jirga", yaitu suatu bentuk pengambilan keputusan tradisional di Afghanistan yang telah digunakan beberapa pemimpin, termasuk mantan Presiden republik Ashraf Ghani. Pada 2020, Ghani mengadakan loya jirga sebelum memutuskan untuk membebaskan ratusan tahanan Taliban untuk memajukan pembicaraan damai.

Perdana Menteri di bawah kepemimpinan Taliban, Abdul Salam Hanafi mengatakan kepada penyiar RTA bahwa, pertemuan itu tidak akan dihadiri oleh peserta perempuan. Ketika ditanya apakah perempuan akan hadir, Hanafi mengatakan delegasi laki-laki akan mewakili perempuan.

“Perempuan adalah ibu kita, saudara kita, kita sangat menghormati mereka, ketika anak laki-laki mereka ada dalam pertemuan itu berarti mereka juga terlibat,” ujar Hanafi.

Kelompok masyarakat sipil mengatakan, pertemuan itu tidak akan memiliki legitimasi jika perempuan tidak dilibatkan. Hanafi mengatakan, pertemuan besar ini adalah yang pertama sejak Taliban mengambil alih Agustus lalu.

"Orang-orang yang berbeda dengan pandangan yang berbeda akan berkumpul. Ini akan menjadi langkah positif bagi stabilitas di Afghanistan dan memperkuat persatuan nasional," kata Hanafi.

Afghanistan berada dalam krisis ekonomi yang mendalam karena cadangan bank sentral senilai miliaran dolar telah dibekukan. Selain itu, sanksi internasional diberlakukan pada sektor perbankan, sehingga menghambat perekonomian.

Pemerintah internasional, khususnya Amerika Serikat mengatakan bahwa, Taliban perlu mengubah arahnya terhadap hak-hak perempuan. Sejak berkuasa, Taliban memberlakukan kebijakan yang sangat membatasi gerak perempuan. Taliban mengharuskan perempuan menggunakan jilbab dan menutup wajah mereka dengan cadar. Selain itu, setiap perempuan yang hendak bepergian harus didampingi oleh kerabat laki-laki. Taliban juga melarang perempuan bekerja dan tidak melibatkan mereka dalam pemerintahan.

sumber : Reuters / AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement