Ahad 10 Jul 2022 19:02 WIB

AS Tuding Blokade Rusia Turut Pengaruhi Gejolak di Sri Lanka

Blokade ekspor gandum Ukraina yang dilakukan Rusia berkontribusi di krisis Sri Lanka

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Gita Amanda
Para pengunjuk rasa berlindung ketika pasukan keamanan menembakkan gas air mata selama bentrokan dengan pasukan keamanan pada demonstrasi anti pemerintah di Kolombo, Sri Lanka, 09 Juni 2022.
Foto: EPA-EFE/CHAMILA KARUNARATHNE
Para pengunjuk rasa berlindung ketika pasukan keamanan menembakkan gas air mata selama bentrokan dengan pasukan keamanan pada demonstrasi anti pemerintah di Kolombo, Sri Lanka, 09 Juni 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Anthony Blinken mengatakan, blokade ekspor gandum Ukraina yang dilakukan Rusia turut berkontribusi dalam krisis di Sri Lanka. Ia khawatir tindakan Moskow dapat memicu krisis di negara-negara lain.

"Kami melihat dampak agresi Rusia ini terjadi di mana-mana. Ini mungkin berkontribusi pada situasi di Sri Lanka; kami khawatir tentang implikasinya di seluruh dunia," kata Blinken kepada awak media di Bangkok, Thailand, Ahad (10/7/2022), dikutip laman TRT World.

Baca Juga

Pada kesempatan itu, Blinken kembali menyerukan agar Rusia membiarkan 20 juta ton gandum Ukraina diekspor. “Apa yang kita lihat di seluruh dunia adalah meningkatnya kerawanan pangan yang telah diperburuk secara signifikan oleh agresi Rusia terhadap Ukraina,” ucapnya.

Dia mengungkapkan, melambungnya harga pupuk di Thailand juga merupakan dampak dari blokade yang dilakukan Rusia terhadap komoditas Ukraina. “Itu signifikan, terutama di negara pertanian yang dinamis seperti Thailand. Karena tanpa pupuk, kami tahu itu berarti hasil panen tahun depan akan turun, harga berpotensi naik," kata Blinken.

Terkait situasi di Sri Lanka, presiden negara tersebut, yakni Gotabaya Rajapaksa, sudah diumumkan akan mundur dari jabatannya pada 13 Juli mendatang. Kabar itu dipublikasikan setelah ribuan warga di sana menyerbu dan menggeruduk kediaman resmi Gotabaya pada Sabtu (9/7/2022).

“Keputusan untuk mundur pada 13 Juli diambil untuk memastikan penyerahan kekuasaan secara damai. Oleh karena itu, saya meminta masyarakat menghormati hukum dan menjaga perdamaian,” kata Ketua Parlemen Sri Lanka Mahinda Yapa Abeywardana, seperti dikutip Reuters.

Pengumuman itu disambut gempita oleh rakyat Sri Lanka. Di ibu kota, Kolombo, sejumlah warga menyulut kembang api untuk merayakan jatuhnya Gotabaya. Tidak ada pernyataan resmi apa pun dari Gotabaya terkait penggerudukan kediaman resminya maupun perihal pengunduran dirinya.

Sri Lanka sudah dibekap gelombang demonstrasi sejak Maret lalu. Awalnya warga turun ke jalan untuk memprotes pemadaman listrik bergilir yang kian parah di sana. Namun seruan agar presiden mundur sudah muncul sejak unjuk rasa mulai bergulir. Sri Lanka memang tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun terakhir. Hal itu diperburuk dengan dampak yang ditimbulkan pandemi Covid-19.

Dari Maret ke bulan-bulan berikutnya, kondisi ekonomi Sri Lanka kian terperosok. Inflasi melambung tinggi dibarengi dengan naiknya harga bahan pokok dan mulai langkanya bahan bakar minyak (BBM). Hal itu pula yang membuat warga Sri Lanka mempertahankan aksi demonstrasinya. Mereka menuntut perbaikan hidup dan reformasi pemerintahan.

Pada Juni lalu, inflasi di Sri Lanka mencapai 54,6 persen. Angka itu diperkirakan bakal menyentuh hingga 70 persen dalam beberapa bulan mendatang. Saat ini Sri Lanka sudah menangguhkan pembayaran utang luar negerinya. BBM pun tak lagi dijual untuk umum karena stok yang tersedia hanya untuk mempertahankan layanan esensial, seperti rumah sakit dan pembangkit listrik.

Sri Lanka sudah kesulitan mengimpor BBM karena utang pembelian minyaknya telah menggunung. Saat ini negara tersebut sedang berusaha memperoleh dana bailout dari Dana Moneter Internasional (IMF) senilai 3 miliar dolar AS. Kolombo pun melakukan penggalangan dana dari sumber multilateral dan bilateral guna mengurangi kekeringan dolar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement