"Setidaknya 50 warga sipil tak berdosa, tidak termasuk pasukan keamanan, tewas karena mereka. Bagaimana Anda bisa mengatakan ini bukan keadilan? Tindakan diambil untuk dilakukan pada saat-saat yang diperlukan," ujar Zaw Min Tun.
Hukuman mati itu menuai kecaman internasional. Dua pakar PBB menyebut eksekusi ini sebagai upaya keji untuk menanamkan rasa takut di kalangan masyarakat.
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang merupakan ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), pada Juni mengajukan sebuah surat kepada pemimpin junta Min Aung Hlaing untuk tidak melakukan eksekusi. Dalam suratnya, Hun Sen menyampaikan keprihatinan mendalam terkait kondisi di Myanmar.
Junta Myanmar telah mengutuk pernyataan negara asing terkait perintah eksekusi. Junta meminta negara lain jangan campur tangan dalam urusan internal Myanmar.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta tahun lalu. Konflik menyebar secara nasional setelah tentara menghancurkan sebagian besar aksi protes damai di kota-kota. AAPP mengatakan, lebih dari 2.100 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta.
Analis Myanmar dari kelompok International CRISIS, Richard Horsey, mengatakan, gambaran kekerasan yang sebenarnya sulit untuk dinilai karena bentrokan telah menyebar ke daerah yang lebih terpencil, di mana kelompok pemberontak etnis minoritas juga memerangi militer. Eksekusi terbaru menutup peluang untuk mengakhiri kerusuhan.
"Setiap kemungkinan dialog untuk mengakhiri krisis yang diciptakan oleh kudeta kini telah dihapus. Ini adalah rezim yang menunjukkan bahwa ia akan melakukan apa yang diinginkannya dan tidak mendengarkan siapa pun. Ia melihat ini sebagai demonstrasi kekuatan, tetapi ini mungkin salah perhitungan yang serius," ujar Horsey kepada Reuters.