REPUBLIKA.CO.ID, KUWAIT -- Kantor berita Kuwait, KUNA melaporkan negara Arab Teluk itu resmi membubarkan parlemen. Langkah Putra Mahkota Sheikh Meshal al-Ahmad al-Sabah ini untuk mengakhiri kebuntuan antara pemerintah dan parlemen terpilih yang menghambat reformasi fiskal.
Bulan lalu Sheikh Meshal yang mengambil alih sebagian besar kekuasaan emir mengatakan ia membubarkan parlemen dan menggelar pemilihan cepat. Pada Senin (1/8/2022) ia menyetujui kabinet yang diajukan perdana menteri yang baru.
"Untuk memperbaiki ranah politik, lemahnya harmoni dan kerja sama dan perilaku yang merusak persatuan nasional, perlu meminta bantuan pada rakyat, untuk memperbaiki jalan," kata Sheikh Meshal dalam dekritnya membubarkan parlemen, Selasa (2/8/2022).
Stabilitas politik di Kuwait tergantung pada kerja sama antara pemerintah dan parlemen. Parlemen di negara produsen minyak anggota OPEC itu yang paling hidup di antara negara-negara Arab Teluk.
Pemerintah sebelumnya yang mengundurkan diri bulan April lalu menjelang mosi tak kerja sama di parlemen terhadap Perdana Menteri Sheikh Sabah al-Khalid yang bulan lalu digantikan putra emir saat ini Sheikh Ahmad Nawaf al-Sabah.
Kuwait melarang partai politik tapi memberi badan legislatif lebih banyak pengaruh dibandingkan negara-negara Monarki Arab Teluk lainnya.
Selama puluhan tahun kebuntuan antara pemerintah dan parlemen di Kuwait kerap mengakibatkan reshuffle kabinet dan pembubaran legislatif, menghambat investasi dan reformasi. Pembubaran parlemen terakhir sebelumnya dilakukan pada 2016.