REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Serangan pesawat tak berawak oleh Central Intelligence Agency (CIA) yang menewaskan pemimpin Alqaeda Ayman al-Zawahiri memberikan kemenangan yang telah lama ditunggu-tunggu untuk strategi kontra-terorisme di bawah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Para pakar pada Selasa (2/8/2022) mengatakan, operasi ini mempertajam kekhawatiran tentang kehadiran kelompok militan di Afghanistan.
Ketika pasukan AS dan petugas intelijen meninggalkan pada Afghanistan Agustus tahun lalu, Biden beralih ke strategi "over-the-horizon" dengan mengandalkan pesawat tak berawak dan pesawat mata-mata untuk melacak dan menyerang militan Alqaeda dan ISIS. Serangan CIA pada Ahad (31/7) di pusat kota Kabul memberikan pencapaian terhadap kebijakan Biden tersebut.
"Ini adalah kisah sukses yang cukup sederhana," kata rekan senior untuk Asia Selatan di lembaga think tank Wilson Center, Michael Kugelman.
Kugelman mengatakan, selama misi di Afghanistan Amerika Serikat telah gagal membunuh Zawahiri. Namun Amerika Serikat masih menjalankan operasi jarak jauh dan berhasil membunuh Zawahiri hampir setahun sejak menarik pasukannya dari Afghanistan. Zawahiri membantu mengoordinasikan serangan 11 September 2001 di AS dan merupakan penerus Usamah bin Laden.
"Saya kritis terhadap keputusan Presiden Biden untuk meninggalkan Afghanistan, tetapi serangan ini menunjukkan bahwa kami masih memiliki kemampuan dan kemauan untuk bertindak di sana untuk melindungi negara kami," kata Perwakilan AS Tom Malinowski, seorang Demokrat.
Pejabat AS yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan, masih ada kekurangan dalam strategi tersebut. Menurutnya pesawat tak berawak AS memiliki waktu yang sulit untuk memantau target di bagian terpencil Afghanistan untuk waktu yang lama.
Seorang pejabat AS mengatakan, serangan terhadap Zawahiri akan sulit untuk ditiru di seluruh Afghanistan tanpa jaringan intelijen yang dibentuk selama 20 tahun kehadiran AS.
"Ini adalah model serangan," kata seorang analis kontraterorisme yang berbasis di Washington yang berfokus pada perang drone, Neha Ansari.
Ansari mengatakan, operasi itu membutuhkan koordinasi intelijen yang baik. Termasuk kemungkinan beberapa negara memberikan izin kepada Amerika Serikat untuk menerbangkan drone melalui wilayah udara mereka, dan lokasi yang tepat.
Sebuah ilustrasi tentang sulitnya pengumpulan intelijen di Afghanistan terjadi pada 2015 ketika ribuan pasukan pimpinan AS berada di lapangan. Saat itu, para pejabat militer AS terkejut karena menemukan sebuah kamp pelatihan besar-besaran Alqaeda di provinsi Kandahar selatan.
Penggunaan pesawat tak berawak CIA untuk menyerang Zawahiri menunjukkan perjanjian penerbangan rahasia dengan negara tetangga. CIA menolak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang operasi tersebut.
Kehadiran Zawahiri di Kabul menimbulkan pertanyaan tentang keberadaan kelompok militan di bawah kekuasaan Taliban. Serangan itu menunjukkan bahwa ada celah dalam kesepakatan penarikan pasukan asing yang ditandatangani Amerika Serikat dengan Taliban. Dalam kesepakatan itu, Alqaeda dan kelompok militan lainnya dibolehkan tetap berada di Afghanistan selama mereka tidak melatih, menggalang dana, atau merencanakan serangan.