REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- ASEAN menyampaikan kekecewaan mereka atas minimnya kemajuan dalam realisasi lima poin konsensus yang disusun untuk mengatasi krisis politik di Myanmar. Junta Myanmar didesak mengambil tindakan atau langkah sebelum pertemuan puncak ASEAN digelar akhir tahun ini.
“Sangat kecewa dengan kemajuan yang terbatas serta kurangnya komitmen dari otoritas Naypyidaw untuk implementasi lima poin konsensus yang tepat waktu dan lengkap,” demikian bunyi salah satu kalimat dalam komunike yang dirilis dalam 55th ASEAN Ministerial Meeting di Phnom Penh, Kamboja, Jumat (5/8/2022).
Dalam komunike itu, para menteri luar negeri (menlu) ASEAN mengungkapkan, mereka secara ekstensif membahas perkembangan terakhir terkait Myanmar. Mereka mengaku prihatin atas krisis politik yang berkepanjangan. “Termasuk eksekusi (mati) empat aktivis oposisi,” katanya.
Ketua ASEAN tahun ini, Kamboja, telah memperingatkan Myanmar untuk tidak melanjutkan tindakan eksekusi terhadap para tahanan di negara tersebut. “(ASEAN) kecewa dan terganggu dengan eksekusi para aktivis oposisi ini, meskipun ada seruan dari saya dan yang lain agar hukuman mati dipertimbangkan kembali demi dialog politik, perdamaian, serta rekonsiliasi,” kata Perdana Menteri Kamboja Hun Sen dalam pidatonya saat membuka 55TH ASEAN Ministerial Meeting di Phnom Penh, Rabu (3/8/2022) lalu.
Dia berharap tak ada lagi eksekusi terhadap para aktivis atau tokoh oposisi yang saat ini ditahan oleh junta Myanmar. “Jika lebih banyak tahanan yang akan dieksekusi, kita akan dipaksa untuk memikirkan kembali peran kami terhadap lima poin konsensus ASEAN,” ucapnya.
Myanmar tidak mengutus delegasi ke 55th ASEAN Ministerial Meeting. Hal itu karena Kamboja selaku ketua ASEAN tahun ini telah melarang partisipasi menlu junta Myanmar dalam pertemuan tersebut. Tak adanya kemajuan signifikan dalam pelaksanaan lima poin konsensus melatari keputusan yang diambil Kamboja. Langkah Kamboja berpegang pada kesepakatan di antara negara anggota ASEAN untuk tak mengundang perwakilan junta Myanmar.
Lima poin konsensus merupakan bentuk upaya ASEAN untuk mengatasi krisis Myanmar pasca-kudeta yang dilakukan militer pada 1 Februari 2021. Negara tersebut diguncang gelombang demonstrasi menentang langkah militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil. Militer Myanmar merespons aksi unjuk rasa tersebut secara represif dan brutal. Lebih dari 2.100 orang dilaporkan tewas dan hampir 15 ribu lainnya ditangkap selama demonstrasi digelar.
Dalam lima poin konsensus, ASEAN menyerukan agar aksi kekerasan di Myanmar segera diakhiri dan para pihak menahan diri sepenuhnya. Myanmar pun diminta segera memulai dialog konstruktif guna menemukan solusi damai. Selanjutnya utusan khusus ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN. ASEAN pun akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre. Terakhir, utusan khusus dan delegasi ASEAN bakal mengunjungi Myanmar untuk bertemu semua pihak terkait.