REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Hadi Matar, pria yang diduga menikam penulis Salman Rushdie mengaku mengagumi mantan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Khomeini. Matar mengatakan kepada New York Post, dia menghormati mantan pemimpin Iran dan percaya Rushdie menyerang Islam melalui tulisannya.
Iran membantah terlibat dalam serangan itu tetapi menyalahkan Rushdie karena menimbulkan kontroversi. Khomeini menyerukan pembunuhan terhadap Rushdie pada 1989.
“Saya menghormati Ayatollah. Saya pikir dia orang yang hebat,” kata Matar kepada New York Post dari Penjara Chautauqua County.
Matar mengatakan, dia hanya membaca beberapa halaman novel kontroversial Rushdie yang berjudul The Satanic Verses atau Ayat-Ayat Setan. Namun, Matar mengatakan, dia telah menonton video Rushdie di YouTube. “Saya tidak terlalu menyukainya (Rushdie),” kata Matar.
Matar membantah melakukan kontak dengan Garda Revolusi Iran. Pengacara Matar, Nathaniel Barone mengajukan pembelaan tidak bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan dan penyerangan.
Pada Jumat (12/8/2022), seorang pria yang diidentifikasi sebagai Hadi Matar menyerang Rushdie dengan menusuknya. Penusukan terjadi ketika Rushdie berada di atas panggung dan bersiap memberikan kuliah umum di Chautauqua Institution. Pelaku mengaku tidak bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan dan penyerangan. Jaksa menyebut serangan itu sebagai kejahatan "terencana".
Rushdie ditikam sebanyak sepuluh kali. Novelis itu menderita kerusakan hati, dan saraf yang terputus di lengan dan matanya. Dia kemungkinan besar akan kehilangan matanya yang terluka. Hingga kini Rushdie masih dirawat secara intensif di rumah sakit.
Pemerintah Iran telah menjauhkan diri dari seruan untuk membunuh Rushdie. Pemerintah Iran mengatakan, penikaman yang dilakukan Matar tidak terkait dengan Iran.
"Kami menganggap tidak ada seorang pun kecuali (Rushdie) dan pendukungnya yang pantas disalahkan atau bahkan dikutuk atas serangan itu. Penulis itu mengekspos dirinya pada kemarahan publik," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanani, dilansir Aljazirah, Kamis (18/8/2022).
Rushdie telah menghadapi ancaman pembunuhan selama lebih dari 30 tahun setelah menerbitkan The Satanic Verses pada 1988. Banyak Muslim di seluruh dunia menganggap buku itu sebagai penghinaan terhadap Islam. Kemudian pada 1989 Khomeini mengeluarkan dekret yang menyerukan kematian Rushdie.
Dekret ini memaksa Rushdie bersembunyi selama lebih dari satu dekade. Penerus Khomeini, Ayatollah Ali Khamenei pada 2019 mengatakan, dekret yang menyerukan kematian Rushdie masih terus berlaku.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Ned Price, mengatakan, rezim Iran telah menjadi pusat ancaman terhadap hidupnya Rushdie. Di Iran, beberapa media memuji insiden penusukan yang dialami Rushdie.
Sementara keluarga Matar mengecam serangan itu. Ibu Matar, Silvana Fardos menghindari wartawan dan enggan memberikan komentar terkait kasus yang menimpa anaknya.
“Saya sudah selesai dengan dia (Matar). Saya tidak akan mengatakan apapun terkait dia," ujar Silvana Fardos.
Menurut agen Rushdie, Andrew Wylie, penulis berusia 75 tahun itu sedang dalam pemulihan. Dokter telah melepas ventilator dan Rushdie dapat berbicara. Namun, setelah ditikam sekitar 10 kali, Rushdie tetap berisiko mengalami cedera seumur hidup dan bisa kehilangan salah satu matanya.