REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO – Kepala Badan Kepolisian Nasional Jepang Itaru Nakamura telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Dia merasa bertanggung jawab atas kegagalannya melindungi mantan perdana menteri Shinzo Abe yang ditembak hingga tewas bulan lalu.
Nakamura mengatakan, penembakan dan kematian Shinzo Abe merupakan insiden serius. Oleh sebab itu, sebagai kepala kepolisian, Nakamura merasa gagal dan memilih menanggalkan jabatannya. Dia sudah mengajukan pengunduran dirinya ke Komisi Keamanan Publik Nasional Jepang pada Kamis (25/8/2022) pagi waktu setempat.
"Untuk secara mendasar memeriksa kembali penjagaan dan tidak pernah membiarkan ini terjadi, kita perlu memiliki sistem baru," kata Nakamura pada konferensi pers saat dia mengumumkan niatnya untuk mundur.
Nakamura tidak mengungkap kapan dia bakal resmi melepaskan jabatannya sebagai kepala polisi nasional. Namun media Jepang melaporkan, pengunduran diri Nakamura diperkirakan akan disetujui pada pertemuan Kabinet pada Jumat (26/8/2022).
Bulan lalu, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan, pembunuhan Shinzo Abe merupakan tindakan biadab dan tak bisa dimaafkan.
“Saya berdoa agar hidupnya (Abe) diselamatkan, tapi meskipun demikian, saya datang untuk mengetahui (kematiannya). Ini benar-benar disesalkan. Saya tak bisa berkata apa pun,” kata Kishida dengan raut emosional kepada awak media, 8 Juli lalu.
Shinzo Abe tewas ditembak saat tengah berpidato di sebuah acara kampanye di kota Nara pada 8 Juli. Abe ditembak dua kali dari arah belakang. Peluru mengenai dada sebelah kiri dan lehernya. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong.
Pelaku penembakan diidentifikasi sebagai Tetsuya Yamagami. Dia ditangkap sesaat setelah melepaskan tembakan ke arah Abe. Saat ini Yamagami sedang menjalani evaluasi mental dan akan berlangsung hingga November mendatang.
Dalam keterangannya, Yamagami mengungkapkan, dia menembak Abe karena hubungan sang mantan perdana menteri dengan Gereja Unifikasi. Yamagami mengaku membenci gereja tersebut. Tahun lalu, Abe memang sempat mengirim pesan video ke sebuah kelompok yang terafiliasi dengan Gereja Unifikasi. Hal itu diduga memicu kemarahan pelaku.
Gereja Unifikasi didirikan di Korea Selatan (Korsel) pada 1954. Ia hadir di Jepang sekitar satu dekade kemudian. Para pengurus gereja tersebut kemudian membangun hubungan dekat dengan sejumlah anggota parlemen Jepang berhaluan konservatif. Banyak dari mereka merupakan anggota Partai Demokrat Liberal, yakni partai yang pernah dipimpin Abe.
Sejak 1980-an, Gereja Unifikasi di Jepang telah menghadapi tuduhan perekrutan bermasalah dan penjualan agama. Saat ini, peringkat dukunga terhadap pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida mengalami penurunan. Hal itu karena hubungan Gereja Unifikasi dengan partainya.