REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Kepala Komisioner Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Michelle Bachelet mengakui mendapat tekanan luar biasa terkait laporan pelanggaran HAM di wilayah Xinjiang, China. Ia menegaskan kembali bahwa dirinya akan merilis laporan tentang situasi HAM warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang, sebelum akhir masa jabatannya akhir Agustus.
"Kami berupaya sangat keras untuk melakukan apa yang saya janjikan," kata Bachelet saat konferensi pers terakhirnya sebagai Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, dikutip laman Aljazirah, Jumat (26/8/2022).
Namun, ia menyampaikan bahwa ada ketidakpastian kapan laporan itu akan muncul. Sebab pihaknya berada di bawah tekanan luar biasa untuk menerbitkan atau tidak menerbitkan.
"(Kami) menerima masukan substansial dari pemerintah (China) yang perlu kami tinjau dengan hati-hati, seperti yang kami lakukan setiap saat dengan laporan apapun dengan negara manapun," kata Bachelet.
Dia menerima surat yang ditandatangani oleh negara-negara termasuk Korea Utara, Venezuela dan Kuba yang meminta non-publikasi dari laporan tersebut. Seperti diketahui perilisan laporan telah berulang kali tertunda.
Bachelet, yang akan mengakhiri jabatanya pada 31 Agustus mengatakan penyelidikan tentang laporan itu terus berlanjut. "Anda tidak dapat membayangkan jumlah surat, pertemuan yang meminta publikasi. Jumlah yang sangat besar," katanya.
"Selama setahun terakhir masalah ini muncul setiap hari, setiap saat, setiap pertemuan," imbuhnya.
Para pegiat HAM menuduh China melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang termasuk penahanan massal, kerja paksa, sterilisasi wajib, pemisahan keluarga dan penghancuran situs budaya dan agama Uighur. Amerika Serikat (AS) dan legislator di negara-negara Barat lainnya menuduh China melakukan genosida terhadap kelompok minoritas.
Awal tahun ini, Bachelet menyelesaikan perjalanan yang ditunggu-tunggu ke wilayah Xinjiang. Kunjungannya pun memicu kritik. Setelah Bachelet kembali dari China, sekitar 47 negara menandatangani pernyataan yang meminta pengamatan lebih rinci, termasuk pembatasan yang diberlakukan otoritas China atas kunjungan tersebut. Akademisi yang mengkhususkan diri di Xinjiang juga meminta rincian lebih lanjut tentang apa yang telah terjadi.
Beijing dengan keras menolak tuduhan tindakan keras di Xinjiang. Pemerintahan Xi Jinping menyebutnya dengan istilah "kebohongan abad ini", dan mengatakan kembali bahwa kamp-kamp Xinjiang adalah pusat pelatihan kejuruan yang dirancang untuk melawan ekstremisme.