REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Bentrokan hebat meletus di Baghdad, menewaskan sedikitnya 10 orang pada Senin (29/8/2022). Bentrokan ini terjadi setelah ulama Syiah Moqtada al-Sadr mengumumkan akan mundur dari politik, mendorong para loyalisnya menyerbu istana pemerintah dan berperang dengan kelompok saingannya.
"Dengan ini saya mengumumkan penarikan terakhir saya," katanya di Twitter pada Senin sambil mengkritik sesama pemimpin politik Syiah karena gagal mengindahkan seruannya untuk reformasi.
Peningkatan ketegangan dimulai saat kemenangan Sadr dalam pemilihan Oktober. Dia berupaya untuk membentuk pemerintahan yang bebas dari kelompok-kelompok yang didukung Iran. Kemudian penarikan anggotanya dari parlemen untuk mendukung protes jalanan, menduduki gedung-gedung pemerintah untuk memblokir aktivitas politik, dan akhirnya menjadi titik meletusnya kekerasan baru pada Senin.
Para pejabat keamanan mengatakan, beberapa bentrokan terjadi antara pejuang Brigade Perdamaian Sadr dan anggota pasukan keamanan Irak yang bertugas melindungi Zona Hijau. Namun milisi yang bersekutu dengan Iran kemungkinan juga terlibat.
Saat malam tiba, tembakan senapan mesin dan ledakan terdengar, dengan tembakan pelacak membumbung ke langit di atas Zona Hijau yang menampung kantor pusat pemerintah dan kedutaan asing. Serangan tersebut merupakan pertempuran terburuk yang pernah terjadi di ibukota Irak selama bertahun-tahun.
Loyalis Sadr yang telah menduduki gedung parlemen selama berminggu-minggu kemudian menyerbu markas pemerintah di Zona Hijau yang dulunya adalah istana diktator Saddam Hussein. Beberapa orang melompat ke kolam renang di istana, bersorak, dan mengibarkan bendera.
Bentrokan kemudian terjadi antara pemuda yang setia kepada Sadr dan pendukung milisi pro-Iran. Mereka dilaporkan saling melempar batu di dekat Zona Hijau, sebelum pertempuran bersenjata malam hari.
Polisi dan petugas medis mengatakan, 10 orang meninggal dunia, beberapa lusin terluka. Militer Irak mengumumkan jam malam nasional tanpa batas dan mendesak para pengunjuk rasa untuk meninggalkan Zona Hijau.
Bentrokan itu terjadi setelah munculnya tindakan kekerasan yang dipicu oleh pengumuman Sadr bahwa akan menarik diri dari semua aktivitas politik. Keputusan ini, menurutnya, sebagai tanggapan atas kegagalan para pemimpin dan partai Syiah lainnya untuk mereformasi sistem pemerintahan yang korup dan membusuk. Sadr kemudian mengatakan, akan melakukan mogok makan sebagai protes terhadap penggunaan senjata oleh semua pihak.
Sadr sering kembali ke aktivitas politik setelah pengumuman serupa, meskipun kebuntuan saat ini tampaknya lebih sulit untuk diselesaikan daripada periode disfungsi sebelumnya. Tindakannya kali ini telah memberikan Irak jangka panjang tanpa pemerintahan.
Pendukung ulama itu pertama kali menyerbu Zona Hijau pada Juli. Sejak itu, mereka menduduki parlemen, menghentikan proses pemilihan presiden dan perdana menteri baru.
Sekutu Sadr, Mustafa al-Kadhimi, yang tetap menjadi perdana menteri sementara menangguhkan rapat kabinet sampai pemberitahuan lebih lanjut. Dia secara terbuka memohon kepada Sadr untuk campur tangan guna menghentikan kekerasan.
Kebuntuan politik antara Sadr dan saingan Syiah yang sebagian besar didukung oleh Iran telah mengirim negara ini ke dalam putaran kekerasan lain. Baghdad saat ini telah berjuang untuk pulih dari perang puluhan tahun, sanksi, perselisihan sipil dan korupsi endemik.
Sejak 2003, kelompok-kelompok Irak telah terlibat dalam konflik sektarian dan baru-baru ini persaingan politik intra-sektarian dan intra-etnis. Putaran kekerasan terbaru mengadu para pendukung Sadr yang termasuk milisi bersenjata lengkap melawan paramiliter saingan yang bersekutu dengan Iran dan pasukan keamanan.