REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD – Ulama Syiah Irak Muqtada al-Sadr telah mengumumkan bahwa dia berhenti dari aktivitas politik. Langkah itu sebagai respons atas kebuntuan politik yang pelik dan berkepanjangan di negara tersebut.
“Dengan ini saya mengumumkan penarikan terakhir saya,” kata al-Sadr dalam sebuah pernyataan yang diunggah di akun Twitter resminya, Senin (29/8/2022). Dia secara terbuka mengkritik sesama pemimpin politik Syiah karena gagal mengindahkan seruannya untuk reformasi.
Al-Sadr tak menjelaskan tentang penutupan kantornya. Namun dia mengungkapkan bahwa lembaga budaya dan agama akan tetap buka atau beroperasi. Partai al-Sadr, Blok Sadris, memenangkan kursi terbesar di parlemen dalam pemilu yang digelar Oktober tahun lalu.
Namun pada Juni lalu, dia menarik semua anggota partainya dari parlemen. Hal tersebut dilakukan setelah al-Sadr gagal membentuk pemerintahan pilihannya yang akan mengecualikan pesaingnya yang disokong Iran.
Setelah menarik semua anggota partainya dari parlemen, para pendukung al-Sadr menyerbu zona pemerintah pusat Baghdad. Sejak momen tersebut, mereka menduduki gedung parlemen. Proses pemilihan presiden dan perdana menteri baru pun terhenti. Selama 10 bulan terakhir, tak ada pemerintahan terpilih di Irak.
Saat ini al-Sadr menuntut pembubaran parlemen dan penyelenggaraan pemilu dini. Dia mengatakan, tak ada politisi yang telah berkuasa sejak invasi Amerika Serikat (AS) tahun 2003 dapat memperoleh atau memegang jabatan. Sekutu al-Sadr, yakni Mustafa al-Kadhimi, masih tetap menjabat sebagai perdana menteri sementara.
Mundurnya al-Sadr dari aktivitas politik diprediksi akan semakin memperumit situasi politik di Irak. Al-Sadr adalah putra keempat dari Imam Syiah Irak Ayatollah Muhammad Baqir al-Sadr. Hingga 2004, dia merupakan penguasa de facto bagian kota Sadr, Baghdad. Ia pun mengepalai pasukan Tentara Mahdi.
Sejak berhasil mengalahkan ISIS pada 2017, Irak telah berjuang untuk pulih. Namun perebutan kekuasaan antara partai-partai politik di sana menghambat proses tersebut. Irak merupakan produsen terbesar kedua Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).