REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Situasi di ibu kota Irak, Baghdad, masih mencekam setelah bentrokan bersenjata Senin (29/6/2022) malam waktu setempat. Korban jiwa bertambah menjadi 30 menyusul kerusuhan pascamundurnya ulama Syiah Irak Muqtada al-Sadr dari aktivitas politik.
"Kami telah mendengar suara tembakan semalam, senjata sedang dan ringan telah digunakan, kami mendengar juga beberapa ledakan di dalam Green Zone, sistem pertahanan udara C-RAM milik kedutaan AS di zona hijau terdengar jelas awal pagi ini,” kata koresponden Aljazirah di Baghdad, Mahmoud Abdelwahed.
"Situasinya sangat tegang dan tampaknya semua upaya untuk mengurangi ketegangan belum membuahkan hasil. Ada seruan kepada Grand Marji'a, referensi agama Grand Syiah di Kota Najaf untuk campur tangan mengakhiri konflik ini," imbuhnya.
Menurutnya, warga Irak meyakini jalan keluar satu-satunya adalah dengan melibatkan intervEnsi Grand Marji. Ketegangan telah meningkat selama beberapa bulan antara pendukung al-Sadr dan lawan mereka di Aliansi Kerangka Koordinasi.
"Ini adalah semacam klimaks dari 10 bulan perselisihan politik antara politisi saingan tentang pembentukan pemerintahan dan selama beberapa bulan terakhir dan sejak penarikan anggota parlemen Sadr dari parlemen," katanya.
“Segalanya telah meningkat dan kami telah menyaksikan protes dan protes balasan, aksi duduk dan aksi duduk balasan," ujarnya menambahkan.
Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) turut terlibat dalam menghadapi massa pendukung al-Sadr di Zona Hijau Baghdad. Al-Sad memposisikan dirinya melawan Iran dan Amerika Serikat memang populer di Irak. Namun, upayanya untuk membentuk pemerintahan telah kandas dalam beberapa bulan setelah pemilihan di tengah oposisi dari blok saingan.