Rabu 31 Aug 2022 09:03 WIB

PM Irak Ancam Mengundurkan Diri Jika Kekerasan Terus Berlanjut

PM Irak Mustafa al-Kadhimi ancam kosongkan jabatan jika situasi politik berlanjut

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Pasukan keamanan Irak menembakkan gas air mata ke pengikut ulama Syiah Muqtada al-Sadr di dalam Istana pemerintah, Baghdad, Irak, Senin, 29 Agustus 2022. Al-Sadr, seorang ulama Syiah yang sangat berpengaruh mengumumkan dia akan mengundurkan diri dari politik Irak dan pengikutnya yang marah menyerbu istana pemerintah sebagai tanggapan. Kekacauan Senin memicu kekhawatiran bahwa kekerasan bisa meletus di negara yang sudah dilanda krisis politik terburuk dalam beberapa tahun.
Foto: AP Photo/Hadi Mizban
Pasukan keamanan Irak menembakkan gas air mata ke pengikut ulama Syiah Muqtada al-Sadr di dalam Istana pemerintah, Baghdad, Irak, Senin, 29 Agustus 2022. Al-Sadr, seorang ulama Syiah yang sangat berpengaruh mengumumkan dia akan mengundurkan diri dari politik Irak dan pengikutnya yang marah menyerbu istana pemerintah sebagai tanggapan. Kekacauan Senin memicu kekhawatiran bahwa kekerasan bisa meletus di negara yang sudah dilanda krisis politik terburuk dalam beberapa tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi mengatakan  pada Selasa (30/8/2022), akan mengosongkan jabatannya jika situasi politik yang rumit di negara itu berlanjut. Sehari sebelumnya, dia telah menangguhkan sesi kabinet sampai pemberitahuan lebih lanjut setelah pengunjuk rasa masuk ke area pemerintah.

Al-Kadhimi telah memperingatkan kerusuhan yang terus berlanjut di negara itu akan membuatnya berhenti dari pekerjaannya. Tindakannya ini dilakukan sebagai langkah pertanggungjawaban yang diambilnya kepada warga Irak.

Baca Juga

“Saya peringatkan, mulai sekarang, jika (pengunjuk rasa) ingin terus mengobarkan kekacauan, konflik, perselisihan, dan perselisihan, dan tidak mendengarkan suara akal, saya akan mengambil langkah moral dan patriotik saya dengan mengumumkan pengosongan pekerjaan posisi (perdana menteri) pada waktu yang tepat, menurut Pasal 81 konstitusi Irak, dan meminta pertanggungjawaban mereka di hadapan rakyat Irak, dan di hadapan sejarah," ujarnya.

Kadhimi terpilih untuk posisi perdana menteri pada Mei 2020. Terpilihnya usai pengunduran diri pendahulunya Adel Abdul Mahdi.

Kerusuhan bermula saat ulama Syiah Moqtada al-Sadr mengumumkan akan mengundurkan diri dari dunia politik. Keputusan ini didorong oleh kegagalan para pemimpin dan partai Syiah lainnya untuk mereformasi sistem pemerintahan negara itu. Dia menjadi pemenang utama dalam pemilihan Oktober 2021 tetapi gagal dalam upayanya untuk membentuk pemerintahan dengan partai-partai Arab Muslim Sunni dan Kurdi.

Sadr kemudian menyerukan untuk menghentikan demonstrasi dan kekerasan terjadi di Baghdad tengah pada Selasa. Permintaan ini cukup meredakan konfrontasi yang menyebabkan kekerasan paling mematikan di ibukota Irak dalam beberapa tahun.

Presiden Irak Barham Saleh menyambut baik penghentian awal kekerasan di Irak. "Posisi Yang Mulia Moqtada al-Sadr untuk mengakhiri kekerasan bertanggung jawab, berani dan untuk melindungi bangsa," katanya.

Hanya saja Saleh memperingatkan, bahwa krisis politik belum berakhir dan menyerukan pemilihan awal sebagai jalan keluar potensial dari kebuntuan. "Situasi saat ini tidak dapat diterima dan tidak dapat berlanjut. Inilah mengapa penyelenggaraan pemilu baru yang lebih awal sesuai dengan pemahaman nasional merupakan jalan keluar dari krisis yang menyesakkan di negara ini," kata Saleh dikutip dari ABC.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement