REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Sri Lanka Ali Sabry mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan pangkas masa jabatan presiden akan disahkan menjadi UU beberapa pekan ke depan. RUU nantinya akan membutuhkan dua pertiga mayoritas di DPR untuk menjadi undang-undang.
"Amandemen baru akan mengurangi kekuasaan presiden dan mengembalikan pemerintahan partisipatif," kata Sabry.
RUU diusulkan untuk membantu menopang stabilitas dan meredakan kerusuhan yang dipicu oleh krisis keuangan terburuk negara itu dalam beberapa dekade. Krisis memuncak pada Juli ketika presiden Gotabaya Rajapaksa melarikan diri dari negara dan mengundurkan diri. Ia kemudian digantikan oleh Ranil Wickremesinghe.
Amandemen yang diusulkan akan membentuk dewan konstitusional dan sembilan komisi independen untuk meningkatkan pemerintahan. Komisi tersebut akan bekerja untuk mempromosikan hak asasi manusia hingga meningkatkan pengawasan audit terhadap badan-badan pemerintah dan mendukung penyelidikan anti-korupsi.
Sabry mengatakan Sri Lanka juga tengah dalam proses menyusun undang-undang antiteror baru yang akan sejalan dengan praktik terbaik internasional. Menjelang sidang Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai minggu depan, Sabry mengatakan Sri Lanka akan menentang setiap upaya internasional untuk mengumpulkan bukti dugaan pelanggaran hak selama perang negara itu melawan militan Macan Tamil.
"Sikap kami sangat jelas. Kami adalah peserta yang bersemangat dalam komunitas internasional dan bermaksud untuk berdiskusi dengan semua mitra bilateral dan multilateral," katanya. "Tetapi mekanisme eksternal apa pun yang tidak kami setuju karena Konstitusi kami tidak mengizinkannya," ujarnya menambahkan.
Sri Lanka mengakhiri perang saudara 25 tahun antara pemberontak separatis dari etnis minoritas Tamil dan pasukan pemerintah pada 2009. Kelompok hak asasi menuduh kedua belah pihak melakukan pelanggaran selama perang.