REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - Rusia memantau dengan cermat setiap aktivitas militer di Semenanjung Korea. Hal ini dikatakan oleh pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia pada Jumat (9/9/2022) tak lama setelah Korea Utara (Korut) secara resmi mengesahkan hak untuk menggunakan serangan nuklir preventif.
"Langkah baru-baru ini oleh AS mempersulit untuk meyakinkan Korut bahwa keamanannya dapat dijamin dengan cara politik, bukan militer," kata Kementerian Luar Negeri Rusia mengutip RIA. Rusia juga menuduh Washington merusak stabilitas semenanjung.
Parlemen Korut, Majelis Rakyat Tertinggi, meloloskan undang-undang baru sebagai pengganti undang-undang 2013 yang pertama kali menguraikan status nuklir negara itu pada Kamis (8/9/2022). "Yang paling penting dari membuat undang-undang kebijakan senjata nuklir adalah untuk menarik garis yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak ada tawar-menawar atas senjata nuklir kami," kata Kim Jong Un dalam pidato di majelis.
Di antara skenario yang dapat memicu serangan nuklir adalah ancaman serangan nuklir yang akan segera terjadi, jika kepemimpinan negara, orang, atau keberadaan berada di bawah ancaman atau untuk menang selama perang, di antara alasan lainnya. Seorang wakil di majelis mengatakan undang-undang itu akan berfungsi sebagai jaminan hukum yang kuat untuk mengonsolidasikan posisi Korut sebagai negara senjata nuklir dan memastikan karakter transparan, konsisten, dan standar dari kebijakan nuklirnya.
Undang-undang Korut tahun 2013 menetapkan bahwa Korut dapat menggunakan senjata nuklir untuk mengusir invasi atau serangan dari negara nuklir yang bermusuhan dan melakukan serangan balasan. Undang-undang baru lebih dari itu untuk memungkinkan serangan nuklir preemptive jika serangan dekat dengan senjata pemusnah massal atau terhadap target strategis negara itu, termasuk kepemimpinannya, terdeteksi.