REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr membela pemberlakuan darurat militer mendiang ayahnya ketika berkuasa. Dia mengatakan pada Selasa (13/9/2022), tindakan itu diperlukan karena secara bersamaan memerangi pemberontakan komunis dan separatis pada waktu itu.
Putra Ferdinand Marcos Sr yang digulingkan dalam pemberontakan rakyat 1986 ini mengatakan, ayahnya menyatakan darurat militer tidak untuk tetap berkuasa tetapi karena pemerintah harus membela diri. "Hukum militer diumumkan karena perang, dua perang yang kami lawan di dua front," kata Marcos dalam wawancara pertamanya sejak kemenangan telaknya dalam pemilihan Mei.
"Itulah bahayanya, bahaya yang dihadapi negara ini," katanya.
Berbagai kelompok termasuk korban pelanggaran hak asasi manusia bersiap untuk menandai peringatan 50 tahun deklarasi darurat militer pada 21 September. Pernyataan pemimpin Filipina itu kemungkinan akan meningkatkan kekhawatiran para kritikus bahwa Marcos Jr tidak berniat menjauhkan diri dari gaya kepemimpinan ayahnya dan ini dapat menimbulkan risiko bagi demokrasi di Filipina.
Dalam wawancara televisi terbaru itu, Marcos Jr membantah tuduhan bahwa dia dan keluarganya memutarbalikkan sejarah. Selama kampanye, para kritikus menuding pencalonannya sebagai presiden adalah upaya untuk menulis ulang sejarah dengan menghapus korupsi dan otoritarianisme yang terkait dengan 20 tahun pemerintahan ayahnya.
Marcos mengaku sengaja mengunjungi makam ayahnya sehari setelah memenangkan pemilihan dan meminta bantuannya. "Saya akan menggunakan semua yang saya pelajari dari Anda untuk melanjutkan pekerjaan Anda," kenang Marcos kepada mendiang ayahnya.
Ayah Marcos dan keluarganya melarikan diri dari pemberontakan melawan pemerintahan. Dia meninggal di pengasingan di Hawaii pada 1989. Akan tetapi keluarganya kemudian kembali ke Filipina untuk meluncurkan kebangkitan yang memuncak pada kemenangan pemilihan putranya menjadi presiden pada Mei.
Puluhan tahun kemudian, lebih dari 11 ribu korban darurat militer telah menerima reparasi dari pihak berwenang Filipina. Pembayaran itu menggunakan miliaran dolar dari kekayaan yang diperoleh kembali dari sitaan harta keluarga Marcos Sr.