REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Helikopter junta menyerang sebuah sekolah dan desa di Myanmar utara-tengah. Serangan ini menewaskan sedikitnya 13 orang termasuk tujuh anak.
Serangan dilaporkan terjadi pada Jumat (16/9/2022) di Desa Let Yet Kone di Tabayin atau juga dikenal sebagai Depayin, yang terletak sekitar 110 kilometer barat laut Mandalay. Administrator sekolah, Mar Mar, mengatakan, dia sedang mencoba untuk membawa siswa ke tempat persembunyian yang aman di ruang kelas lantai dasar ketika dua dari empat helikopter Mi-35 yang terbang di utara desa mulai menyerang. Helikopter itu menembakkan senapan mesin dan senjata yang lebih berat ke sekolah, yang berada di kompleks biara Buddha desa.
Mar Mar bekerja di sekolah itu bersama dengan 20 sukarelawan yang mengajar 240 siswa dari taman kanak-kanak hingga kelas delapan. Dia telah bersembunyi di desa dengan tiga anaknya sejak melarikan diri untuk menghindari tindakan keras pemerintah, setelah berpartisipasi dalam gerakan pembangkangan sipil terhadap kudeta militer pada tahun lalu. Dia menggunakan nama samaran Mar Mar untuk melindungi dirinya dan kerabat dari penangkapan oleh militer.
Mar Mar tidak menyangka helikopter yang melintas akan memberondong sekolah dengan tembakan. Dia mengatakan, sebelumnya ada helikopter telah melintas di atas desa dan tidak menyerang.
"Karena para siswa tidak melakukan kesalahan, saya tidak pernah berpikir bahwa mereka akan ditembak secara brutal dengan senapan mesin,” kata Mar Mar kepada The Associated Press melalui telepon pada Senin (19/9/2022).
Mar Mar, para siswa, dan guru dapat berlindung di ruang kelas. Namun satu guru dan seorang siswa berusia 7 tahun telah tertembak di leher dan kepala. Mar Mar harus menggunakan selembar kain yang disobek dari pakaiannya untuk menahan pendarahan.
"Mereka terus menembak ke dalam kompleks dari udara selama satu jam. Mereka tidak berhenti satu menit pun. Yang bisa kami lakukan saat itu hanyalah melantunkan mantra Buddha," kata Mar Mar.
Ketika serangan udara berhenti, sekitar 80 tentara memasuki kompleks biara dan menembak ke gedung-gedung.
Para prajurit kemudian memerintahkan semua orang di kompleks untuk keluar dari gedung. Mar Mar mengatakan, dia melihat sekitar 30 siswa dengan luka di punggung, paha, wajah, dan bagian tubuh lainnya. Bahkan beberapa siswa kehilangan anggota tubuhnyam
“Anak-anak memberi tahu saya bahwa teman-teman mereka sedang sekarat. Saya juga mendengar seorang siswa berteriak, 'Ini sangat menyakitkan. Saya tidak tahan lagi. Tolong bunuh aku.' Suara ini masih terngiang di telinga saya,” kata Mar Mar.
Mar Mar mengatakan, setidaknya enam siswa tewas di sekolah dan seorang anak laki-laki berusia 13 tahun yang bekerja di sebuah perikanan di desa terdekat juga tewas tertembak. Setidaknya enam orang dewasa juga tewas dalam serangan udara di bagian lain desa. Jasad anak-anak yang tewas dibawa oleh tentara.
Lebih dari 20 orang, termasuk sembilan anak-anak terluka dan tiga guru, juga dibawa oleh tentara. Dua dari mereka yang ditangkap dituduh sebagai anggota Tentara Pertahanan Rakyat, yang merupakan sayap bersenjata perlawanan terhadap militer. Aparat keamanan juga membakar sebuah rumah di desa tersebut, sehingga menyebabkan warga mengungsi. Seorang sukarelawan di Tabayin yang membantu orang-orang terlantar yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan, jasad anak-anak yang meninggal dikremasi oleh tentara di kota kecil Ye U di dekatnya.
“Saya sekarang memberi tahu komunitas internasional tentang ini karena saya ingin ada kompensasi untuk anak-anak kita. Ketimbang bantuan kemanusiaan, yang benar-benar kita butuhkan adalah demokrasi sejati dan hak asasi manusia," kata Mar Mar.
Portal berita online Myanmar Now dan media independen Myanmar lainnya juga melaporkan serangan itu dan kematian para siswa. Sehari setelah serangan itu, surat kabar milik pemerintah Myanma Alinn melaporkan, pasukan keamanan segera turun untuk melakukan pemeriksaan di desa setelah menerima informasi bahwa anggota Tentara Pertahanan Rakyat bersembunyi di sana.
Laporan Myanma Alinn mengatakan, anggota Tentara Pertahanan Rakyat dan sekutu mereka dari Tentara Kemerdekaan Kachin, yaitusebuah kelompok pemberontak etnis, bersembunyi di dalam rumah dan biara. Tentara mulai menembaki mereka sehingga menyebabkan kematian dan cedera di antara penduduk desa. Junta mengatakan, para korban luka dibawa ke rumah sakit. Tetapi Mynama Alinn tidak menyebutkan situasi para siswa.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik yang berbasis di Thailand, yang memantau hak asasi manusia di Myanmar, setidaknya 2.298 warga sipil telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak tentara merebut kekuasaan tahun lalu. Komite Hak Anak PBB pada Juni telah mendokumentasikan 260 serangan terhadap sekolah dan tenaga pendidikan sejak kudeta.