REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – Sebuah panel di pengadilan tinggi India terpecah soal keputusan mengizinkan penggunaan hijab di ruang kelas. Masalah tersebut dirujuk kepada ketua hakim, yang akan mendirikan pengadilan lebih besar untuk mendengar kasus tersebut.
“Kami memiliki perbedaan pendapat,” kata Hakim Hemant Gupta, salah satu dari dua hakim panel, saat menyampaikan keputusan pada Kamis (13/10/2022). Namun dia tak mengungkapkan, kapan pengadilan yang lebih besar akan dibentuk atau kapan sidang berikutnya bakal diadakan.
Kasus pelarangan penggunaan hijab di ruang kelas muncul di Negara Bagian Karnataka, India, pada Februari lalu. Pemerintah Karnataka meluncurkan perintah atau aturan demikian pada 5 Februari. Peraturan tersebut didukung perintah sementara Pengadilan Tinggi Karnataka.
Meski menuai protes luas, peraturan larangan penggunaan hijab bagi siswi dan mahasiswi di ruang kelas tetap diterapkan. Pada 9 Februari lalu, Pengadilan Tinggi Karnataka menggelar sesi untuk mendengar petisi yang diajukan para remaja dan gadis Muslim di sana.
Dalam petisinya, mereka meminta pemerintah mengizinkan pemakaian hijab di lembaga pendidikan. Advokat senior yang menjadi pengacara para gadis Muslim tersebut, Devadatt Kamat, mengatakan, praktik penggunaan hijab dilindungi di bawah konstitusi kebebasan beragama. Hal tersebut dijamin konstitusi India.
Oleh sebab itu, dalam pandangan Kamat, negara tidak memiliki kekuatan untuk melakukan pelarangan. Dalam sebuah sidang pada 18 Februari lalu, Advokat Jenderal Karnataka Prabhuling Navadgi mengatakan, hijab bukan merupakan praktik agama Islam yang penting atau esensial. Menurut Navadgi, mencegah pemakaiannya tidak melanggar jaminan konstitusional kebebasan beragama.
"Kami telah mengambil sikap bahwa mengenakan hijab bukanlah bagian penting dari agama Islam," ujar Navadgi di hadapan Ketua Hakim Ritu Raj Awasthi, Hakim JM Khazi, dan Hakim Krishna M Dixit.
Dia mengatakan, tak ada pelanggaran hukum saat pemerintah Karnataka meluncurkan aturan larangan pemakaian hijab dan syal safron di ruang kelas. "Tidak ada masalah hijab dalam aturan pemerintah. Perintah pemerintah itu sifatnya tidak berbahaya. Itu tidak mempengaruhi hak-hak para pemohon," kata Navadgi.
Ia menjelaskan, sikap negara sadar tidak ingin ada campur tangan dalam masalah agama. "Bisa dibilang hijab bertentangan dengan sekularisme dan ketertiban serta bisa dikatakan tidak boleh. Padahal tidak. Itu adalah sikap negara yang dinyatakan. Kami tidak mau campur tangan," ujarnya.
Jaksa Agung telah menolak tuduhan sejumlah mahasiswi Muslim yang menyebut larangan pemakaian hijab di ruang kelas melanggar Pasal 25 Konstitusi. Pasal itu memberikan kebebasan hati nurani dan profesi, praktik, serta penyebaran agama yang bebas kepada warga negara India.
Menurut Navadgi, peraturan larangan hijab di ruang kelas yang dirilis pemerintahan Karnataka juga tak menubruk Pasal 19(1) (a) Konstitusi. Pasal itu menjelaskan tentang jaminan kebebasan berbicara dan berekspresi bagi semua warga India.