REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN – Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock mengungkapkan, Uni Eropa sedang mengkaji apakah akan mengklasifikasikan Garda Revolusi Iran sebagai organisasi teroris. Berlin turut terlibat dalam proses penilaian tersebut.
“Saya menjelaskan pekan lalu bahwa kami akan meluncurkan paket sanksi lain, bahwa kami akan memeriksa bagaimana kami juga dapat memasukkan Garda Revolusi (Iran) sebagai organisasi teroris,” kata Baerbock dalam sebuah wawancara dengan lembaga penyiaran ARD, Ahad (30/10/2022).
Pada kesempatan itu, dia pun menyampaikan bahwa saat ini tidak ada negosiasi tentang perjanjian nuklir antara Iran dan Barat. Terkait Garda Revolusi Iran, pada Mei lalu Amerika Serikat (AS) menyatakan mereka masih menganggap entitas tersebut sebagai kelompok teroris. Teheran diketahui telah menuntut Washington mencabut status “teroris” pada pasukan revolusinya sebagai bagian dari proses pemulihan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
“Anda telah mendengar dari Menteri (Luar Negeri AS Antony Blinken) bahwa Garda Revolusi Iran telah melakukan serangan teroris. Jelas, kami prihatin dengan ancaman yang ditimbulkan Garda Revolusi Iran,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya, 10 Mei lalu
Price menjelaskan, langkah-langkah yang sudah diambil AS membuktikan bahwa pemerintahan Presiden Joe Biden bekerja untuk melawan ancaman Korps Garda Revolusi Iran. “Dari 107 sanksi yang dijatuhkan pemerintahan ini kepada Iran sejak Januari 2021, hingga saat ini, 86 di antaranya dikenakan pada Korps Garda Revolusi Iran atau afiliasinya,” ucapnya.
“Kami bekerja erat, menggunakan otoritas kami sendiri, juga dengan mitra di kawasan, untuk melawan Garda Revolusi Iran dan ancaman yang berpotensi ditimbulkannya terhadap personel kami serta mitra kami di kawasan juga,” kata Price menambahkan.
Kendati demikian, Price mengungkapkan, AS masih berharap mencapai kesepakatan dengan Iran untuk menghidupkan kembali JCPOA. Meski pembicaraan telah terhenti selama berminggu-minggu, Washington tetap menganggap pemulihan JCPOA sebagai kepentingan terbaiknya.
JCPOA terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.