REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Kremlin mengatakan Rusia tidak butuh dekrit hukum untuk mengakhiri mobilisasi militer pertama Rusia sejak Perang Dunia II. Konferensi pers, Selasa (1/11/2022) digelar satu hari setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan ia akan berkonsultasi dengan pengacara mengenai persoalan ini.
Pekan lalu Putin mengatakan ia memanggil 300 ribu pasukan cadangan. Ia menambahkan Rusia juga telah menyelesaikan "sebagian mobilisasi" untuk konflik di Ukraina.
Namun faktanya Kremlin belum membatalkan dekrit awal presiden atau mengeluarkan dekrit baru untuk membatalkannya telah menimbulkan kekhawatiran. Kemungkinan proses pemanggilan terus dilakukan.
Pekan lalu Rusia mengatakan percepatan pengerahan senjata nuklir taktis B61 dari Amerika Serikat (AS) di pangkalan Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Eropa akan "menurunkan ambang batas nuklir". Rusia akan mempertimbangkan langkah itu dalam rencana militernya.
Invasi Rusia ke Ukraina membawa hubungan antara Moskow dengan Barat dalam kondisi terburuknya sejak Krisis Kuba 1962. Ketika dua negara adidaya itu hampir perang nuklir selama Perang Dingin.
Rusia memiliki sekitar 2.000 senjata nuklir taktis sementara AS memiliki sekitar 200 senjata serupa. Setengah diantaranya berada di Italia, Jerman, Turki, Belgia dan Belanda.
Politico melaporkan dalam rapat tertutup NATO, Washington mengatakan akan mempercepat pengerahan versi terbaru B61 dan B61-12 ke Eropa pada bulan Desember. Beberapa bulan lebih cepat dibandingkan dari dijadwalkan sebelumnya.
"Kami tidak dapat mengabaikan rencana untuk modernisasi senjata nuklir, bom udara di Eropa," kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Alexander Grushko pada kantor berita RIA, Sabtu (29/10/2022).