Meski ada baiknya, kebijakan nol Covid China justru telah mengakibatkan jutaan orang terkurung dalam waktu yang lama di rumah dan membawa gangguan krisis ekonomi yang luas ke negara ekonomi terbesar kedua di dunia. Mengabaikannya berarti membatalkan kebijakan yang diperjuangkan oleh Xi. Para ahli menilai hal itu juga akan berisiko membanjiri sistem kesehatan dan menyebabkan penyakit dan kematian yang meluas di negara dengan ratusan juta lansia dan tingkat kekebalan yang rendah terhadap COVID.
Aksi protes massa kemudian mengguncang pasar global hingga Senin. Harga minyak menjadi lebih rendah dan dolar lebih tinggi, dengan saham China dan yuan jatuh tajam.
Media pemerintah tidak menyebutkan protes dalam beritanya, melainkan mendesak warga untuk tetap berpegang pada aturan Covid. Banyak analis mengatakan China tidak mungkin membuka kembali pembebasan gerak warga sebelum Maret atau April, dan membutuhkan kampanye vaksinasi yang efektif sebelum itu.
"Demonstrasi tidak segera mengancam tatanan politik yang ada, tetapi itu berarti campuran kebijakan Covid saat ini tidak lagi berkelanjutan secara politik," tulis analis di Gavekal Dragonomics dalam sebuah catatan.
"Pertanyaannya sekarang adalah seperti apa pembukaan kembali. Jawabannya adalah: lambat, bertahap, dan berantakan," tambahnya.
Kebijakan nol COVID China tetap menjadi sumber utama ketidakpastian bagi investor terlebih di pusat keuangan Shanghai. Mereka sekarang juga diawasi untuk tanda-tanda ketidakstabilan politik. Martin Petch, wakil presiden di Moody's Investors Service, mengatakan lembaga pemeringkat memperkirakan protes akan mereda dengan relatif cepat dan tanpa mengakibatkan kekerasan politik yang serius.
"Namun, mereka berpotensi menjadi kredit negatif jika dipertahankan dan menghasilkan respons yang lebih kuat oleh pihak berwenang," kata Petch.