REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran mulai membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) baru di Provinsi Khuzestan. Kepala Organisasi Energi Atom Iran, Mohammad Eslami mengatakan, PLTN Karun yang dibangun di distrik Darkhovin, Khuzestan memiliki kapasitas 300 megawatt.
"Pembangunan pembangkit akan memakan waktu sekitar tujuh tahun dan diperkirakan menelan biaya antara 1,5 miliar dolar AS hingga 2 miliar dolar AS," ujar Eslami, dilansir Alarabiya, Sabtu (3/12/2022).
Eslami mengatakan, pembangkit listrik itu pertama kali akan dibangun oleh perusahaan Prancis. Tetapi perusahaan Prancis itu telah mundur dari komitmennya setelah Revolusi Islam Iran pada 1979.
"Belakangan, negara lain menghindari kerja sama dengan Republik Islam Iran karena sanksi tersebut," kata Eslami.
Di bawah kesepakatan nuklir yang dicapai pada 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), Iran setuju menghentikan PLTN Fordo dan membatasi pengayaan uraniumnya menjadi 3,67 persen. Langkah ini sebagai bagian dari paket pembatasan kegiatan nuklir yang bertujuan mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir secara diam-diam.
Teheran telah berulang kali membantah mereka berusaha mengembangkan bom atom. Sebagai imbalan atas pembatasan tersebut, negara-negara besar setuju untuk melonggarkan sanksi yang telah mereka jatuhkan atas program nuklir Iran.
Namun kesepakatan itu runtuh pada tahun 2018 ketika mantan Presiden AS Donald Trump menarik Washington keluar dari perjanjian JCPOA dan menerapkan kembali sanksi ekonomi yang melumpuhkan Iran. Sejak itu, Iran membuka kembali PLTN Fordo.
November lalu, Iran mengatakan telah mulai memproduksi uranium yang diperkaya hingga 60 persen di PLTN Fordo. Iran juga mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir di Bushehr, yang menghasilkan tenaga 1.000 megawatt.
Pembicaraan untuk menghidupkan kembali JCPOA dimulai pada April 2021. Tetapi negosiasi terhenti dalam beberapa bulan terakhir, di tengah ketegangan antara Iran dan pihak lain dalam kesepakatan itu.