REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Ulama Sunni terkemuka di Iran, Molavi Abdolhamid, telah menyuarakan penentangan atas langkah pengadilan Iran menuntut para pengunjuk rasa yang terlibat dalam aksi memprotes kematian Mahsa Amini dengan dakwaan “moharebeh” atau “mohareb”. Moharebeh adalah istilah yang digunakan di Iran untuk individu atau kelompok yang dianggap melawan atau memerangi Tuhan. Dakwaannya membawa konsekuensi hukuman mati.
“Seseorang yang memprotes dengan batu dan tongkat atau hanya dengan berteriak tidak boleh dituduh moharebeh. Apa yang Alquran sebut moharebeh adalah ketika sebuah kelompok menggunakan senjata dan terlibat (dalam pertempuran),” kata Molavi Abdolhamid dalam khotbah salat Jumat-nya kemarin (2 Desember 2022), dilaporkan laman Al Arabiya.
Sebelumnya, seorang pakar independen PBB di Iran, Javaid Rehman, telah mengutarakan keprihatinannya atas tindakan represi yang meningkat terhadap para pengunjuk rasa di negara tersebut. Dia mengungkapkan, sejauh ini sudah terdapat 21 warga yang ditangkap dan menghadapi tuntutan hukuman mati. Sementara menurut Garda Revolusi Iran, jumlah korban tewas selama demonstrasi berlangsung mencapai lebih dari 300 orang.
Jumlah kematian itu lebih sedikit dibandingkan yang didokumentasikan kelompok Iran Human Rights (IHR). Menurut IHR, selama aksi memprotes kematian Mahsa Amini berlangsung, jumlah korban tewas sudah mendekati 416 jiwa.
Sejak gelombang demonstrasi pecah pada September lalu, Iran dilaporkan telah menangkap 14 ribu orang. Banyak di antaranya telah diadili. Anggota parlemen Iran sudah menyerukan agar para pengunjuk rasa dihukum mati. Sebanyak 227 dari total 290 anggota parlemen telah membuat pernyataan bersama yang menyatakan para demonstran sebagai “mohareb”.
Krisis yang kini membekap Iran berpangkal pada tewasnya Mahsa Amini, seorang perempuan berusia 22 tahun. Pada 13 September lalu, dia ditangkap polisi moral Iran di Teheran. Penangkapan tersebut dilakukan karena hijab yang dikenakan Amini dianggap tak ideal. Di Iran memang terdapat peraturan berpakaian ketat untuk wanita, salah satunya harus mengenakan hijab saat berada di ruang publik.
Setelah ditangkap polisi moral, Amini ditahan. Ketika berada dalam tahanan, dia diduga mengalami penyiksaan. PBB mengaku menerima laporan bahwa Amini dipukuli di bagian kepala menggunakan pentungan. Selain itu, kepala Amini pun disebut dibenturkan ke kendaraan.
Setelah ditangkap dan ditahan, Amini memang tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit. Kepolisian Teheran mengklaim, saat berada di tahanan, Amini mendadak mengalami masalah jantung. Menurut keterangan keluarga, Amini dalam keadaan sehat sebelum ditangkap dan tidak pernah mengeluhkan sakit jantung. Amini dirawat dalam keadaan koma dan akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada 16 September lalu.
Kematian Amini dan dugaan penyiksaan yang dialaminya seketika memicu kemarahan publik. Warga Iran turun ke jalan dan menggelar demonstrasi untuk memprotes tindakan aparat terhadap Amini. Perempuan-perempuan Iran turut berpartisipasi dalam aksi tersebut. Mereka bahkan melakukan aksi pembakaran hijab sebagai bentuk protes.