REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Kementerian Dalam Negeri Israel menolak untuk memberikan izin tinggal kepada 13 ribu penduduk Palestina di Yerusalem sejak 1995 hingga saat ini. Menurut laporan surat kabar Haaretz, Senin (19/12/2022), otoritas pendudukan Israel mengklaim bahwa pusat kehidupan warga Palestina bukan lagi Yerusalem, melainkan di luar negeri atau di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi hak asasi manusia telah mengajukan petisi ke Mahkamah Agung Israel melawan Kementerian Dalam Negeri atas nama warga Palestina di Yerusalem yang telah ditolak atau dicabut izin tinggalnya. Dalam semua keputusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa warga Palestina di Yerusalem adalah penduduk asli yang memiliki hak untuk menetap dan tidak boleh diperlakukan sebagai migran.
Kendati demikian, Kementerian Dalam Negeri tetap melanjutkan kebijakannya untuk mencabut izin tinggal dan mengusir warga Palestina dari Yerusalem. Surat kabar Haaretz menganggap deportasi pengacara keturunan Prancis-Palestina, Salah Hamouri, sebagai peringatan terhadap warga Palestina bahwa mereka yang tidak tunduk pada otoritas Israel akan dicabut hak tinggal permanennya.
Hamouri dideportasi karena dituduh melakukan pelanggaran keamanan terhadap negara Israel. Hamouri diantar ke bandara pada Ahad (18/12/2022) pagi untuk naik pesawat ke Perancis. Hamouri (37 tahun), merupakan seorang penduduk Yerusalem tanpa kewarganegaraan Israel. Status kependudukannya dicabut pada 1 Desember dengan tuduhan bahwa dia aktif di Front Populer untuk Pembebasan Palestina. Israel dan Barat mengklasifikasikan front tersebut sebagai kelompok teror.
"Selama hidupnya dia mengorganisir, menginspirasi dan merencanakan untuk melakukan serangan teror sendiri dn untuk organisasi terhadap warga dan orang terkenal Israel," kata pernyataan dari Kementerian Dalam Negeri Israel.
Haaretz mencatat bahwa, otoritas pendudukan Israel merasa cukup aman secara politik, internasional dan keamanan. Dengan demikian, mereka leluasa untuk menggunakan berbagai bentuk penindasan dan pencegahan terhadap warga Palestina.
Secara terpisah, polisi pendudukan Israel menyita sejumlah unta milik suku Badui Palestina di Desa Al-Khurma di Negev. Israel mengklaim bahwa unta tersebut berada di tanah milik Administrasi Pertanahan Israel.
Pemilik unta mencari hewan ternak mereka setelah menyadari bahwa, unta mereka hilang hanya. Para pemilik mengetahui, unta mereka telah diambil oleh polisi pendudukan tanpa peringatan sebelumnya.
Desa-desa di Negev menderita penghancuran, pelecehan dan penyitaan yang terus-menerus. Langkah ini sebagai bagian dari rencana Israel mengusir warga Badui Palestina untuk membuka jalan bagi proyek pembangunan permukiman ilegal Yahudi.