REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan bertemu Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di Washington pada 13 Januari. Pertemuan ini untuk memperdalam hubungan antara kedua negara, kata kantor presiden AS, Gedung Putih.
Gedung Putih juga mengatakan bahwa Biden dan Kishida akan membahas berbagai masalah, mulai dari ancaman rudal balistik dan nuklir Korea Utara hingga upaya menjaga perdamaian di Taiwan.
Kedua pemimpin sebelumnya pernah mengadakan pembicaraan beberapa kali, termasuk saat Biden berkunjung ke Jepang tahun lalu. Namun, lawatan Kishida bulan ini akan menjadi kunjungan pertamanya ke ibu kota AS sejak ia menjabat sebagai perdana menteri Jepang pada Oktober 2021.
Pertemuan Biden dan Kishida tersebut akan berlangsung setelah pemerintah Jepang pada Desember 2022 memutuskan untuk secara signifikan meningkatkan anggaran pertahanan dan kemampuan serangan jarak jauh.
Keputusan itu diambil Jepang sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan pencegahan di tengah sikap China yang semakin agresif serta uji coba rudal Korea Utara yang terus berlanjut.
Biden akan menegaskan kembali dukungan "penuh" untuk Strategi Keamanan Nasional Jepang, yang baru-baru ini dirilis. Strategi baru itu menandai perubahan besar dalam kebijakan keamanan negara sekutu utama AS itu di bawah Konstitusi yang beraliran cinta perdamaian pascaperang.
Biden juga akan menunjukkan dukungan untuk Presidensi G7 yang dipegang Jepang tahun ini, kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre dalam pernyataan.
Dukungan, katanya, juga akan disampaikan Biden terkait masa jabatan Jepang, yang baru saja dimulai, sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Jean-Pierre menyebutkan bahwa AS dan Jepang telah bekerja sama selama setahun terakhir untuk memajukan "Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka" dan memperluas kerja sama dalam berbagai bidang, termasuk teknologi yang sangat penting. Untuk itu, kata dia, para pemimpin kedua negara "akan merayakan kekuatan aliansi AS-Jepang yang belum pernah terjadi sebelumnya dan akan menetapkan arah untuk kemitraan mereka di tahun mendatang."
Perang Rusia yang sedang berlangsung di Ukraina serta "upaya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan" juga akan menjadi agenda pembicaraan, menurut pernyataan Gedung Putih.
Masih ada kekhawatiran bahwa Taiwan berpotensi menjadi titik panas militer di Indo-Pasifik. Beijing menganggap pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu sebagai provinsi pemberontak yang menunggu dipersatukan kembali dengan China daratan, jika perlu dengan kekerasan. China dan Taiwan telah memiliki pemerintahan tersendiri sejak keduanya berpisah pada 1949 karena perang saudara.