REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Sebuah panti asuhan abad ke-19 di Armenian Quarter di Yerusalem kembali dibuka sebagai museum. Museum Mardigian ini dibuka kembali seratus tahun setelah menampung puluhan anak yang orang tuanya terbunuh dalam genosida Armenia.
Museum Mardigian memamerkan budaya Armenia dan menceritakan tentang hubungan masyarakatdengan kota suci selama berabad-abad. Museum itu adalah peringatan bagi sekitar 1,5 juta orang Armenia yang dibunuh oleh Turki Ottoman selama Perang Dunia I. Para ahli menganggap peristiwa ini sebagai genosida pertama abad ke-20.
Turki membantah kematian itu merupakan genosida. Turki mengatakan jumlah korban telah meningkat dan mereka yang tewas adalah korban perang saudara dan kerusuhan.
Direktur Museum Mardigian, Tzoghig Karakashian, mengatakan, museum itu bertujuan untuk mengetahui tentang orang-orang Armenia dan memahami bagian mereka dari sejarah Yerusalem.
Museum dibuka kembali pada akhir 2022 setelah proyek renovasi selama lebih dari lima tahun.
Bangunan tersebut pada awalnya adalah wisma peziarah yang dibangun pada tahun 1850-an. Bangunan ini berfungsi sebagai biara, panti asuhan untuk anak-anak yang selamat dari genosida, seminari, serta akhirnya berfungsi sebagai museum kecil dan perpustakaan.
Yerusalem adalah rumah bagi sekitar 6.000 orang Armenia. Banyak dari mereka adalah keturunan orang-orang yang melarikan diri dari genosida. Sebagian besar dari mereka menghuni salah satu kawasan utama Kota Tua yang bersejarah, yaitu di sebuah kompleks yang sebagian besar tertutup dan berbatasan dengan katedral St. James Armenia abad ke-12.
Hubungan antara orang-orang Armenia dengan kota suci itu sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Mulai dari para biarawan dan peziarah selama Kekaisaran Romawi akhir hingga ratu Armenia dari Tentara Salib Yerusalem.
Bagian tengah museum merupakan mosaik abad ke-5 atau ke-6 yang sangat indah, dan dihiasi dengan burung serta tanaman merambat eksotis yang ditemukan pada 1894 di lahan kompleks biara Armenia kuno. Museum itu memuat prasasti dalam bahasa Armenia yang didedikasikan untuk peringatan dan keselamatan semua orang Armenia.
Selama beberapa dekade, mozaik itu disimpan di sebuah museum kecil di dekat Gerbang Damaskus Kota Tua. Pada 2019, Otoritas Kepurbakalaan Israel dan Patriarkat Armenia memindahkan lantai mozaik melintasi kota ke museum yang baru direnovasi.
Museum ini memamerkan seni material Armenia, mulai dari salib batu berukir rumit yang dikenal sebagai "khachkars" hingga ubin bercat ikonik dan jubah pendeta. Museum ini juga menceritakan kisah kelangsungan hidup Armenia. Orang-orang Armenia tetap bertahan, meski Yerusalem berpindah tangan.
“Bertahan berarti tidak terlihat. Kami bertahan tanpa orang tahu apa atau siapa kami, dan hari ini kami merasa siap untuk menunjukkan dan mengajarkan tentang sejarah dan warisan, tentang budaya, dan untuk menunjukkan kepada Anda bagaimana kami maju dan memodernisasi seiring waktu," ujar seorang pemandu wisata museum, Arek Kahkedjian.