REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Pemerintah Iran memperingatkan Uni Eropa untuk tidak mencantumkan Garda Revolusi Iran dalam daftar organisasi teroris. Teheran menyebut, jika penunjukan demikian tetap dilakukan, perhimpunan Benua Biru sama saja “menembak dirinya sendiri”.
“Kami telah berulang kali mengatakan Garda Revolusi adalah organisasi formal dan berdaulat yang perannya sangat penting untuk menjamin keamanan Iran. Langkah-langkah yang diambil oleh Parlemen Eropa untuk mendaftarkan organisasi tersebut sebagai teroris merupakan tembakan di kaki Eropa sendiri,” kata Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian, Kamis (19/1/2023).
Menurutnya, sikap menghormati keamanan bersama dalam dunia diplomasi dan meningkatkan rasa saling percaya lebih dibutuhkan daripada mengikuti bahasa ancaman serta tindakan tidak bersahabat. “Dalam kasus apa pun terkait daftar teroris, Iran akan mengambil tindakan balasan,” ujar Amirabdollahian.
Pada Rabu (17/1/2023) lalu, Parlemen Eropa meminta Uni Eropa memasukkan Garda Revolusi Iran dalam daftar organisasi teroris. Hal itu karena Garda Revolusi dinilai berperan besar dalam aksi penindasan terhadap warga Iran yang mengikuti aksi unjuk rasa memprotes kematian Mahsa Amini.
Sebelum Parlemen Eropa melakukan permintaan demikian, ribuan diaspora Iran di Strasbourg, Prancis, menggelar unjuk rasa pada Senin (16/1/2023). Strasbourg merupakan tempat Parlemen Eropa bermarkas. Dalam aksinya, massa mendesak Uni Eropa menunjuk Garda Revolusi sebagai kelompok teror.
Ketua Parlemen Uni Eropa Roberta Metsola berjanji kepada para pengunjuk rasa bahwa Uni Eropa akan mendukung warga Iran yang berdemonstrasi di negaranya. “Kami akan mendorong masyarakat internasional untuk menanggapi dengan tegas teror yang telah dilancarkan oleh rezim terhadap rakyat di jalan-jalan Iran. Harus ada respons global yang kuat,” katanya.
Saat ini Iran tengah dibekap krisis yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini. Pada 13 September 2022, Mahsa Amini, wanita berusia 22 tahun, ditangkap polisi moral Iran di Teheran. Penangkapan itu dilakukan karena hijab yang dikenakan Amini dianggap tak ideal. Setelah ditangkap, Amini pun ditahan. Ketika berada dalam tahanan, dia diduga mengalami penyiksaan. PBB mengaku menerima laporan bahwa Amini dipukuli di bagian kepala menggunakan pentungan. Selain itu, kepala Amini pun disebut dibenturkan ke kendaraan.
Saat ditahan, Amini memang tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit. Kepolisian Teheran mengklaim, saat berada di tahanan, Amini mendadak mengalami masalah jantung. Menurut keterangan keluarga, Amini dalam keadaan sehat sebelum ditangkap dan tidak pernah mengeluhkan sakit jantung. Amini dirawat dalam keadaan koma dan akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada 16 September lalu.
Kematian Amini dan dugaan penyiksaan yang dialaminya seketika memicu kemarahan publik. Warga Iran turun ke jalan dan menggelar demonstrasi untuk memprotes tindakan aparat terhadap Amini. Perempuan-perempuan Iran turut berpartisipasi dalam aksi tersebut. Mereka bahkan melakukan aksi pembakaran hijab sebagai bentuk protes. Aksi demonstrasi masih berlangsung hingga kini.
Sejak demonstrasi pecah, ribuan warga Iran dilaporkan telah ditangkap. Iran pun telah mengeksekusi sejumlah warganya yang terlibat dalam aksi penyerangan dan pembunuhan pasukan keamanan. Menurut organisasi Iran Human Rights (IHR), masih terdapat 100 warga lainnya yang menghadapi risiko hukuman mati.