REPUBLIKA.CO.ID, LIMA -- Ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan Lima, Peru. Petugas keamanan mencoba membubarkannya dengan tembakan gas air mata dan peluru karet.
Beberapa jam sebelumnya Presiden Dina Boluarte menyerukan "gencatan senjata" dalam demonstrasi yang berlangsung selama dua bulan. Protes anti-pemerintah di Peru pada Selasa (24/1/2023) paling besar dan rusuh sejak Kamis (18/1/2023).
Ketika massa yang sebagian besar warga daerah terpencil datang ke Ibukota menutut Boluarte mundur. Demonstran juga menuntut pemilu lebih cepat dari yang dijadwalkan dan kongres dibubarkan.
"Kami tidak dapat gencatan senjata saat ia tidak menyampaikan kebenaran," kata salah satu demonstran Blanca Espana Mesa, Rabu (25/1/2023).
"(Saya) senang karena banyak yang datang hari ini, sepertinya rakyat sudah bangun," tambahnya.
Sebelum pekan lalu sebagian besar unjuk rasa anti-pemerintah usai diturunkannya mantan presiden Pedro Castillo digelar di daerah-daerah terpencil di Peru. Hal ini mencerminkan perbedaan antara warga ibukota dengan daerah-daerah yang sejak lama diabaikan pemerintah.
The crisis that has sparked Peru’s worst political violence in more than two decades began when Castillo, Peru’s first leader from a rural Andean background, tried to short-circuit the third impeachment proceeding of his young administration by ordering Congress dissolved on Dec. 7. Lawmakers impeached him instead, the national police arrested him before he could find sanctuary and Boluarte, who was his vice president, was sworn in.
Krisis politik terburuk di Peru dalam dua dekade terjadi setelah Castillo yang berasal dari daerah terpencil diturunkan karena hendak membubarkan Kongres dengan ilegal. Polisi menangkapnya sebelum ia mendapatkan tempat perlindungan dan Boluarte selaku wakil diangkat menjadi presiden.