REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat pada Selasa (31/1) memberlakukan sanksi terhadap enam individu dan tiga entitas yang terkait dengan upaya rezim militer Myanmar dalam menghasilkan pendapatan dan membeli persenjataan. Hal itu disampaikan dalam Pernyataan Pers Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken yang dikeluarkan Kedutaan Besar AS di Jakarta pada Rabu (1/2/2023).
Sanksi itu diterapkan AS termasuk terhadap kepemimpinan senior Kementerian Energi Myanmar, Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar (MOGE), dan Angkatan Udara Myanmar, serta penjual senjata dan anggota keluarga dari rekanan bisnis militer yang ditunjuk sebelumnya.
"Kami juga memberlakukan sanksi bagi Komisi Pemilihan Persatuan (Union Electoral Commission), yang telah dikerahkan oleh rezim untuk memajukan rencana pemilihan umum yang sangat cacat yang akan menumbangkan keinginan rakyat Myanmar," kata Blinken dalam pernyataan itu.
"Kami mengambil tindakan hari ini seiringan dengan tindakan yang juga diambil oleh Inggris dan Kanada," lanjutnya.
AS hingga saat ini telah memberlakukan sanksi, di bawah sebuah perintah eksekutif, terhadap 80 individu dan 30 entitas untuk merampas sarana rezim yang melanggengkan kekerasan, serta untuk mempromosikan aspirasi demokrasi rakyat Myanmar.
"Amerika Serikat tetap teguh dalam posisinya bahwa pemilihan yang direncanakan rezim tidak mungkin bebas atau adil, mengingat bahwa rezim telah membunuh, menahan, atau memaksa calon pesaing untuk pergi, dan mengingat bahwa rezim terus melakukan kekerasan brutal terhadap lawan-lawannya yang bertindak secara damai," ujar Blinken.
"Banyak pemangku kepentingan politik utama telah mengumumkan penolakan mereka untuk berpartisipasi dalam pemilihan ini, yang tidak akan inklusif atau representatif, dan hampir pasti akan memicu pertumpahan darah yang lebih besar," tambahnya.
Blinken lebih lanjut menyampaikan bahwa Amerika Serikat akan terus mendukung gerakan prodemokrasi dan upayanya untuk memajukan perdamaian dan pemerintahan multipartai di Myanmar. "Kami memuji mereka yang bekerja untuk memperkuat persatuan dan kohesi dan menjadi bagian berbagai kelompok yang memiliki visi yang sama akan demokrasi sejati dan inklusif di Myanmar," ucapnya.
Dia menambahkan bahwa Amerika Serikat juga akan terus mendorong pertanggungjawaban atas kekejaman militer, termasuk melalui dukungan bagi Mekanisme Investigasi Independen PBB untuk Myanmar dan upaya internasional lainnya untuk melindungi dan mendukung populasi yang rentan, termasuk Rohingya.
"Kami menyambut baik tindakan yang diambil oleh sekutu dan mitra kami untuk mendesak rezim militer Myanmar agar mengakhiri krisis ini," ujarnya.
Amerika Serikat juga berharap dapat membangun kerja sama dengan ASEAN dan para anggotanya, dengan PBB setelah pengesahan Resolusi Dewan Keamanan PBB baru-baru ini tentang situasi di Myanmar, dan dengan komunitas internasional, saat para mitra berusaha untuk menegakkan Konsensus Lima Poin ASEAN, mengintensifkan tekanan diplomatik dan ekonomi terhadap militer, dan mendukung terwujudnya Myanmar yang damai, demokratis, dan makmur, kata Blinken dalam pernyataan itu.
Dua tahun lalu, rezim militer Myanmar secara terang-terangan merebut kekuasaan dari pemerintahan yang dipilih secara demokratis dan menolak keinginan rakyat Myanmar. Langkah itu membawa Myanmar ke kondisi krisis yang telah menewaskan banyak jiwa, membuat ribuan orang mengungsi, membalikkan kemajuan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan keras di negara itu selama satu dekade terakhir.
Sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021, krisis politik, ekonomi, dan kemanusiaan di Myanmar semakin parah, dengan sejumlah laporan menunjukkan hampir 3.000 orang tewas, hampir 17.000 orang ditahan, dan lebih dari 1,5 juta orang mengungsi.
Kampanye bumi hangus yang terus dilakukan oleh rezim junta terus menimbulkan kerugian dan merenggut nyawa orang-orang yang tidak berdosa, memicu konflik bersenjata yang memburuk di Myanmar dan ketidakamanan di luar perbatasan negara tersebut.