REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Pameran tentang perbudakan di era kolonial Belanda pertama kali dipamerkan di Rijksmuseum Amsterdam akan dipajang di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS). Rijksmuseum mengumumkan pada Jumat (3/2/2023), acara itu sebagai bagian dari program penjangkauan PBB tentang perdagangan budak trans-Atlantik.
"Mengakui dampak berkelanjutan dari perbudakan pada sejarah dunia adalah hal yang sangat penting. Kami sangat berterima kasih kepada PBB karena telah menarik perhatian subjek penting ini melalui pameran ini,” kata Direktur Jenderal Rijksmuseum Taco Dibbits.
Koleksi berjudul “Slavery. Ten True Stories of Dutch Colonial Slavery” itu akan dibuka di lobi pengunjung markas besar PBB dari 27 Februari hingga 30 Maret.
Inti dari pameran perbudakan ini adalah satu set stok kayu yang dikenal sebagai tronco berasal dari kata Portugis untuk batang pohon. Beberapa orang yang diperbudak dapat dibatasi dengan menjepit pergelangan kakinya.
Pameran itu merupakan versi adaptasi dari acara berjudul “Slavery” yang dibuka pada 2021 di Rijksmuseum di Amsterdam. Pameran tersebut menceritakan kisah perbudakan dengan menelusuri kisah pribadi 10 orang, mulai dari pekerja yang diperbudak hingga perempuan kaya Amsterdam.
Pameran ini melihat kehidupan orang-orang yang diperbudak, kelompok yang mendapat untung dari perdagangan yang tidak manusiawi, dan orang-orang yang menentangnya di era kolonial Belanda. Periode yang ditampilkan dari abad ke-17 hingga ke-19 di Brasil, Suriname, dan Karibia, Afrika Selatan, Asia, dan Belanda.
Pertunjukan Rijksmuseum memanfaatkan debat nasional tentang perbudakan yang mendapatkan momentum di tengah gerakan Black Lives Matter yang melanda dunia. Pada Desember tahun lalu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf atas peran negara Belanda dalam perbudakan.