REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina bergulat dengan pertumbuhan populasi yang menyusut. Pada 2022 untuk pertama kalinya dalam lebih dari 60 tahun, populasi Cina turun menjadi 1,411 miliar.
Menurut Biro Statistik Nasional (NBS) Cina, populasi negara itu pada 2022 turun sekitar 850.000 orang dari tahun sebelumnya. Analis mengatakan, penurunan itu adalah yang pertama sejak 1961 selama insiden kelaparan hebat yang dipicu oleh Great Leap Forward di bawah mantan pemimpin Mao Zedong.
“Populasi kemungkinan akan cenderung turun di tahun-tahun mendatang. Ini sangat penting, dengan implikasi terhadap potensi pertumbuhan dan permintaan domestik,” kata Presiden dan Kepala Ekonom di Pinpoint Asset Management, Zhiwei Zhang, dilaporkan CNN pada Januari lalu.
Tingkat kelahiran Cina turun ke rekor terendah, yaitu 6,77 kelahiran per 1.000 orang, atau turun dari 7,52 dari tahun sebelumnya. Cina mencatat tingkat kelahiran terendah sejak berdirinya Komunis Cina pada 1949. Pada 2022 Cina mencatat sekitar 9,56 juta bayi lahir. Jumlah kelahiran itu lebih rendah dibandingkan dengan 10,62 juta pada 2021.
Pemerintah Cina telah memberikan dorongan dan berbagai insentif agar lebih banyak banyak pasangan menikah untuk memiliki anak. Namun dorongan pemerintah ini tampaknya gagal mencapai hasil.
Krisis demografi Cina, yang diperkirakan akan berdampak semakin besar pada pertumbuhan di tahun-tahun mendatang, telah menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan. Beijing membatalkan kebijakan "satu anak". Kebijakan ini dibatalkan setelah pemerintah menyadari bahwa pembatasan tersebut telah berkontribusi pada populasi yang menua dengan cepat, serta menyusutnya tenaga kerja yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial negara tersebut.
Untuk menahan penurunan angka kelahiran, pemerintah Cina pada 2015 mengizinkan pasangan menikah untuk memiliki dua anak. Kebijakan ini berhasil kenaikan angka kelahiran pada 2016. Namun sejak itu, angka kelahiran nasional terus turun.
Pembuat kebijakan selanjutnya melonggarkan batasan kelahiran pada 2021 dengan mengizinkan pasangan yang menikah memiliki tiga anak. Pemerintah juga meningkatkan upaya untuk mendorong keluarga yang lebih besar, termasuk melalui rencana multi-lembaga yang dirilis tahun lalu untuk memperkuat cuti hamil dan menawarkan pengurangan pajak dan tunjangan lainnya kepada keluarga. Namun upaya tersebut belum membuahkan hasil di tengah perubahan norma gender, tingginya biaya hidup dan pendidikan, serta ketidakpastian ekonomi yang membayangi.
Banyak anak muda memilih untuk menunda menikah atau memutuskan untuk tidak memiliki anak sama sekali. Mengatasi tantangan demografis tetap menjadi prioritas politik utama. Presiden Cina Xi Jinping berjanji untuk meningkatkan strategi pengembangan populasi dan mengurangi tekanan ekonomi keluarga.
"(Kami akan) membuat sistem kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran, dan menurunkan biaya kehamilan dan persalinan, membesarkan anak, dan sekolah. Kami akan mengejar strategi nasional proaktif dalam menanggapi penuaan populasi, mengembangkan program dan layanan perawatan lansia, dan memberikan layanan yang lebih baik bagi lansia yang tinggal sendiri," ujar Xi.
Populasi lanjut usia di Cina mencapai seperlima dari total 1,4 miliar penduduknya. Jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas meningkat menjadi 280 juta atau 19,8 persen dari populasi tahun lalu.
Menuanya populasi Cina mengikuti lintasan serupa yang terjadi di negara-negara maju di Asia. Jepang dan Korea Selatan juga mengalami penurunan tingkat kelahiran. Hal ini menimbulkan tantangan bagi pemerintah dalam mendukung demografi lansia yang besar, sambil mengatasi jumlah tenaga kerja yang semakin berkurang.
Pada Januari lalu, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida berjanji untuk mengambil langkah-langkah mendesak dalam mengatasi tingkat kelahiran yang menurun. Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang telah mendorong masyarakatnya untuk memiliki lebih banyak anak dengan janji bonus uang tunai dan insentif lainnya yang lebih baik.
Kendati demikian, Jepang tetap menjadi salah satu tempat termahal di dunia untuk membesarkan anak. Angka kelahiran di Jepang mencapai rekor terendah tahun lalu untuk pertama kalinya yaitu di bawah 800.000. Hal ini kemungkinan besar memicu penurunan populasi lebih lanjut di Jepang yang memiliki populasi dengan usia rata-rata adalah 49 tahun.
"Bangsa kita berada di titik puncak apakah dapat mempertahankan fungsi sosialnya. Sekarang atau tidak sama sekali ketika dorong kebijakan tentang kelahiran dan membesarkan anak. Ini adalah masalah yang tidak bisa menunggu lebih lama lagi," kata Kishida dalam pidato kebijakan pada pembukaan sesi parlemen tahun ini.
Kishida mengatakan, dia akan mengajukan rencana untuk menggandakan anggaran kebijakan terkait anak pada Juni. Pemerintah akan membentuk Badan Anak dan Keluarga pada April mendatang. Badan ini dibentuk untuk mengawasi kebijakan yang mendorong angka kelahiran.
Menurut YuWa Population Research, Jepang adalah negara termahal ketiga di dunia untuk membesarkan anak setelah Cina dan Korea Selatan. Ketiga negara ini mengalami penyusutan populasi yang mengkhawatirkan ekonomi global. Pekan lalu, Cina melaporkan populasinya turun pada 2022 untuk pertama kalinya dalam 60 tahun.