REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM – Badan Intelijen dan Keamanan Militer Swedia mengatakan, Rusia menimbulkan ancaman militer yang jelas dan langsung terhadap wilayahnya. Namun, sebagian besar pasukan Rusia sedang terlibat pertempuran di Ukraina.
"Perintah Keamanan Eropa seperti yang kita tahu sudah tidak ada, dan dengan itu risiko keamanan Swedia juga meningkat," kata Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Militer Swedia, Lena Hallin, dalam konferensi pers, Senin (20/2/2023).
Hallin memprediksi, Rusia akan memperkuat kemampuan militernya di wilayah terdekat Swedia jika memungkinkan. Hal itu sebagai respons atas keputusan Swedia mengajukan permohonan keanggotaan kepada Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Menurut Hallin, meski hingga saat ini pertempuran di Ukraina masih berlangsung, Rusia tetap ingin menghindari eskalasi yang dapat membuka konflik langsung antara Moskow dan NATO.
“Tapi ada ketidakpastian yang cukup besar, terutama terkait dengan kesediaan para pemimpin Rusia untuk mengambil risiko tinggi,” kata Hallin, seraya menambahkan bahwa tingkat ketegangan yang tinggi dapat menimbulkan risiko bahwa kecelakaan atau kesalahan penilaian dapat memicu konflik.
Pemerintah Swedia berencana, mengajukan rancangan undang-undang (RUU) aksesi NATO pada Maret mendatang. Langkah itu diambil meski peluang keanggotaan negara tersebut di NATO masih bergantung pada dukungan atau persetujuan Turki dan Hongaria. “Pemerintah bermaksud untuk memperkenalkan RUU tentang keanggotaan NATO Swedia pada bulan Maret,” kata Menteri Luar Negeri Swedia Tobias Billstrom dalam pidato yang menguraikan prioritas kebijakan luar negeri Swedia untuk tahun ini, Rabu (15/2/2023) pekan lalu.
Swedia dan Finlandia mengajukan permohonan keanggotaan NATO setelah Rusia melancarkan agresi ke Ukraina. Seluruh anggota NATO, kecuali Turki dan Hongaria, telah memberikan dukungan bagi aksesi kedua negara tersebut. Stockholm dan Helsinki perlu memperoleh persetujuan Turki serta Hongaria untuk bisa masuk dalam organisasi pertahanan multilateral yang sudah berdiri sejak 1949 tersebut.
Penolakan Turki atas masuknya Swedia dan Finlandia ke NATO terkait dengan kebijakan kedua negara atas kelompok milisi Kurdi, seperti Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Ankara menuding Swedia dan Finlandia tak mendukung upaya perlawanan terhadap PKK dan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi Suriah (YPG). Turki telah menetapkan dua kelompok tersebut sebagai organisasi teroris.
Dalam pertemuan dengan para pendukung mudanya pada 29 Januari lalu, Erdogan kembali menyerukan Swedia agar mengekstradisi orang-orang yang tengah diburu Turki dari negaranya. Menurut Erdogan, orang-orang tersebut adalah para aktor yang terlibat upaya kudeta terhadap pemerintahannya pada 2016 dan tersangka teror dari kelompok milisi Kurdi.
“Jika Anda (Swedia) benar-benar ingin bergabung dengan NATO, Anda akan mengembalikan para teroris ini kepada kami. Anda akan mengirimkan para teroris ini kepada kami sehingga dapat bergabung dengan NATO,” kata Erdogan.