REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi dan Menlu Cina Qin Gang memimpin Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) ke-4 Indonesia-Cina di Gedung Pancasila, Jakarta, Rabu (22/2/2023). Dalam pertemuan itu dibahas berbagai kerja sama bilateral dan isu kawasan yang menjadi perhatian bersama.
Salah satu isu kawasan yang diusung Retno dalam JCBC ke-4 Indonesia-Cina adalah tentang Laut Cina Selatan. “Indonesia juga ingin melihat Laut Cina Selatan sebagai laut yang damai dan stabil. Penghormatan terhadap hukum internasional, terutama UNCLOS 1982, menjadi kunci,” kata Retno dalam konferensi pers bersama Qin Gang.
Retno mengungkapkan, setelah sempat tertunda karena pandemi Covid-19, negosiasi Code of Conduct (CoC) akan kembali dilakukan dan diintensifkan secara in-person. “Indonesia dan ASEAN ingin menghasilkan CoC yang efektif, substantif, dan actionable,” ujarnya.
Dalam JCBC ke-4, Retno menyampaikan kembali pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menerima para menlu ASEAN di Istana Merdeka awal bulan ini, yakni bahwa ASEAN tidak boleh menjadi proksi bagi kekuatan mana pun. “Indonesia dan ASEAN sangat berkepentingan agar Asia Tenggara tetap menjadi kawasan damai dan stabil serta menjadikannya pusat pertumbuhan ekonomi,” ucapnya.
CoC merupakan salah satu isu yang dibahas dalam ASEAN Foreign Ministers (AFM) Retreat yang digelar di Gedung Sekretariat ASEAN di Jakarta pada 4 Februari lalu. "Komitmen para negara anggota (ASEAN) untuk menyelesaikan negosiasi CoC sesegera mungkin, jelas," ujar Retno Marsudi seusai menghadiri AFM Retreat.
Dia menyebut ada kebutuhan untuk menyepakati CoC yang substantif, efektif, dan dapat diterapkan. “Indonesia siap menyelenggarakan lebih banyak putaran negosiasi CoC tahun ini. Yang pertama akan digelar pada Maret,” ujar Retno.
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Sidharto R Suryodipuro turut menyampaikan bahwa niat ketua dan anggota ASEAN tahun ini adalah mengintensifkan negosiasi CoC. “Eksplorasi pendekatan baru akan dilakukan,” ucap Sidharto sesuai Retno menyampaikan keterangan persnya di Gedung Sekretariat ASEAN.
Sidharto mengatakan, seperti dalam semua negosiasi, perundingan terkait CoC adalah proses. “Proses itu sendiri mungkin sepenting hasilnya. Jadi proses juga adalah kunci. Dan ini adalah sesuatu yang kami niatkan untuk intensifkan,” ujarnya.
Dia menjelaskan masalah Laut Cina Selatan sudah berlangsung lama. Masalah itu telah eksis sebelum adanya Declaration of Conduct (DoC) dan CoC. “Di antara unsur yang ada di DoC (adalah) semua pihak harus menahan diri dari tindakan yang bisa mengubah situasi di kawasan (Laut Cina Selatan). Indonesia sendiri, kita tidak menerima segala bentuk upaya yang mengubah situasi di laut,” kata Sidharto.
Untuk menangani perselisihan klaim di Laut Cina Selatan, ASEAN dan China menandatangani DoC di Kamboja pada November 2002. Deklarasi itu memuat komitmen Cina dan negara-negara ASEAN untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menyelesaikan sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi.
Kemudian pada 2011 Cina dan ASEAN kembali berhasil menyepakati Guideline for the Implementation of the DOC. Kesepakatan tersebut menandai dimulainya pembahasan awal mengenai pembentukan CoC atau kode etik di Laut Cina Selatan.
Fungsinya adalah menghadirkan seperangkat mekanisme atau peraturan tata perilaku untuk negara-negara yang berkepentingan di Laut Cina Selatan. Dengan demikian, potensi pecahnya konflik akibat tumpang tindih klaim dapat diredam.
Cina diketahui mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan sebagai teritorialnya. Klaim itu ditentang sejumlah negara ASEAN yang wilayahnya turut mencakup perairan tersebut, seperti Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia.
Wilayah Laut Natuna Utara Indonesia juga bersinggungan langsung dengan klaim Cina di Laut Cina Selatan.