REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sebuah dorongan baru dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatukan kembali Libya, dengan meyakinkan faksi-faksi di negara itu sedang diusahakan tahun ini, sebagaimana dikatakan diplomat tinggi PBB, Senin (27/2/2023). Namun, optimisme ini terus memudar seiring tidak jelasnya rencana itu dan perselisihan yang tak berkesudahan.
Perwakilan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Libya, Abdoulaye Bathily, mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB di New York bahwa prakarsa terbaru bertujuan untuk pemilihan umum dalam waktu 10 bulan mendatang.
Sampai saat ini, menurut dia, proses politik tetap berlarut-larut dan jauh dari aspirasi rakyat Libya, yang berusaha untuk memilih pemimpin mereka dan menghidupkan kembali institusi politik mereka.
“Singkatnya, warga Libya tidak sabar,” katanya melanjutkan.
“Mereka mempertanyakan kemauan dan keinginan aktor politik untuk mengadakan pemilu yang inklusif dan transparan pada tahun 2023.”
Negara Muhammad Khadafi yang dirusak oleh perang saudara sejak 2011, membuat Libya yang kaya minyak terbagi antara dua pemerintah saingan. Salah satunya berbasis di ibu kota Tripoli dan dipimpin oleh Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah. Yang lainnya dipimpin oleh Perdana Menteri Fathi Bashagha dan berbasis di Sirte dengan parlemen di kota timur Tobruk.
Sebuah proses kompromi yang ditengahi oleh PBB menetapkan pemerintahan sementara — dengan Dbeibah sebagai pemimpinnya — pada awal tahun 2021 untuk memandu negara tersebut menuju pemilihan akhir tahun itu. Sayangnya, pemilihan yang akan dilakukan tidak kunjung diadakan, terutama setelah ketidaksepakatan atas beberapa masalah utama, termasuk kelayakan untuk pencalonan presiden.
Bathily mengatakan pada hari Senin (27/2/2023) bahwa dia meluncurkan sebuah prakarsa “yang bertujuan untuk memungkinkan penyelenggaraan pemilihan presiden dan legislatif pada tahun 2023,” dan berencana untuk membentuk panel pengarah tingkat tinggi.
“Mekanisme yang diusulkan akan menyatukan semua pemangku kepentingan Libya yang relevan, termasuk perwakilan lembaga politik, tokoh politik utama, pemimpin suku, organisasi masyarakat sipil, aktor keamanan, perempuan, dan perwakilan pemuda,” katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Bathily dan banyak aktor internasional berharap pemilu dapat menyatukan bangsa yang terpecah belah. Perpecahan itu telah memicu kekerasan antara kelompok-kelompok bersenjata, yang tak terhitung jumlahnya dengan perahu dari Libya melintasi Mediterania. Banyak perjalanan berakhir dengan tenggelam.
Setelah pertemuan yang disiarkan televisi, anggota Dewan Keamanan mengadakan diskusi tertutup. “Kami mengajukan pertanyaan dan sekarang kami sedang mencari jawabannya. Sejauh ini semuanya masih sangat kabur,” kata wakil duta besar Rusia untuk PBB Dmitry Polansky sesudahnya. “Kita perlu melihat detailnya, karena upaya menghimpun berbagai pihak Libya sudah dilakukan sebelumnya, dan mereka gagal. Jadi kami ingin memahami apa yang benar-benar berbeda kali ini.”
Duta Besar Libya untuk PBB Taher El-Sonni, salah satu dari sedikit diplomat pada pertemuan yang pemerintahnya, mengakui tidak bisa mengontrol semua wilayah nasional yang diakui secara internasional, menggemakan seruan untuk lebih banyak lagi.
“Semua orang menunggu untuk melihat detail mekanismenya,” katanya.
"Semua orang setuju untuk menuju pemilihan ... kami berharap momentum politik ini akan terjadi."