REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani nuklir, Badan Energi Atom Internasional (IAEA), menemukan partikel uranium yang diperkaya hingga 83,7 persen di situs nuklir bawah tanah Fordo Iran.
Laporan triwulanan rahasia IAEA yang didistribusikan ke negara-negara anggota pada Selasa (28/2/2023) kemungkinan akan meningkatkan ketegangan lebih lanjut antara Iran dan Barat atas program nuklirnya.
Berdasarkan laporan tersebut, pada 21 Januari IAEA menemilan dua riam sentrifugal IR-6 di fasilitas Fordo Iran yang telah dikonfigurasi dengan cara 'sangat berbeda' dengan apa yang telah dinyatakan sebelumnya. IAEA mengambil sampel pada hari berikutnya. Sampel itu menunjukkan kemurnian partikel hingga 83,7 persen.
"Iran memberi tahu badan tersebut (IAEA) bahwa fluktuasi yang tidak diinginkan dalam tingkat pengayaan mungkin telah terjadi selama masa transisi. Diskusi antara badan tersebut dan Iran untuk mengklarifikasi masalah ini sedang berlangsung," kata laporan IAEA.
Laporan IAEA juga mengatakan, penemuan ini akan lebih meningkatkan frekuensi dan intensitas kegiatan verifikasi lembaga di Fordo. Misi Iran untuk PBB mengatakan kepada Associated Press bahwa seorang pejabat tinggi IAEA, Massimo Aparo, mengunjungi Iran minggu lalu dan memeriksa dugaan tingkat pengayaan.
“Berdasarkan penilaian Iran, dugaan persentase pengayaan antara Iran dan IAEA telah diselesaikan. Karena laporan IAEA sedang disiapkan sebelum perjalanannya, hasil perjalanannya tidak ada di dalam (laporan itu), dan mudah-mudahan Dirjen IAEA akan menyebutkannya dalam laporan lisannya kepada dewan gubernur pada bulan Maret," ujar pernyataan misi Iran untuk PBB.
Seorang juru bicara program nuklir sipil Iran, Behrouz Kamalvandi, pekan lalu menggambarkan setiap deteksi partikel uranium yang diperkaya ke tingkat itu sebagai efek samping sesaat dari upaya mencapai produk jadi dengan kemurnian 60 persen. Namun, para ahli mengatakan, perbedaan besar dalam kemurnian pada tingkat atom akan tampak mencurigakan bagi IAEA.
Kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) membatasi persediaan uranium Teheran hingga 300 kilogram (661 pon) dan pengayaan hingga 3,67 persen. Tingkat pengayaan ini hanya cukup digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir. Pada 2018, Amerika Serikat secara sepihak menarik diri dari JCPOA dan menjatuhkan sanksi kepada Iran.
Iran telah memproduksi uranium yang diperkaya dengan kemurnian 60 persen. Laporan IAEA menempatkan persediaan uranium Iran pada 12 Februari sekitar 3.760 kilogram (8.289 pon). Jumlah ini meningkat 87,1 kilogram (192 pon) sejak laporan triwulanan terakhirnya pada November. Dari jumlah tersebut, 87,5 kilogram (192 pon) diperkaya hingga kemurnian 60 persen.
Pemurnian uranium 84 persen hampir mencapai tingkat yang dibutuhkan untuk senjata bom atom, yaitu sebesar 90 persen. Sementara direktur jenderal IAEA telah memperingatkan Iran sekarang memiliki kebutuhan uranium yang cukup untuk memproduksi 'beberapa' bom. Komunitas intelijen AS mempertahankan penilaiannya bahwa Iran tidak akan membuat bom atom.
"Sejauh pengetahuan kami, kami tidak percaya bahwa pemimpin tertinggi di Iran belum membuat keputusan untuk melanjutkan program persenjataan yang kami nilai mereka hentikan pada akhir 2003," kata Direktur CIA Williams Burns dalam Program CBS, “Face the Nation"
Fasilitas Fordo berada di bawah gunung dekat kota suci Syiah, Qom, dan berjarak sekitar 90 kilometer barat daya Teheran. Fasilitas ini menjadi perhatian khusus masyarakat internasional.
Fordo memiliki luas seukuran lapangan sepak bola, sehingga cukup untuk menampung 3.000 sentrifugal. Pejabat AS mencurigai Iran memiliki tujuan militer ketika mereka mengungkap situs tersebut secara publik pada 2009.
Sementara itu, seorang pejabat tinggi Departemen Pertahanan mengatakan kepada Komite Angkatan Bersenjata House of Representatives AS bahwa Iran dapat membuat bahan fisil yang cukup untuk satu senjata nuklir dalam waktu kurang dari dua minggu. Jerman dan Israel khawatir tentang laporan IAEA terkait pengayaan uranium Iran yang mencapai hampir 84 persen.
“Kami dipersatukan oleh kekhawatiran tentang eskalasi nuklir di pihak Iran dan tentang laporan baru-baru ini tentang pengayaan uranium yang sangat tinggi. Tidak ada pembenaran sipil yang masuk akal untuk tingkat pengayaan yang begitu tinggi," ujar Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock.
Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen, merujuk pada dua opsi untuk berurusan dengan Iran yaitu menggunakan mekanisme “snapback” dalam resolusi Dewan Keamanan yang mengabadikan kesepakatan nuklir 2015 untuk menerapkan kembali sanksi PBB. Selain itu, ada juga opsi militer.
“Dari pengetahuan kami, ini adalah waktu yang tepat untuk mengerjakan dua langkah khusus ini,” kata Cohen.