REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Mikhail Galuzin pada Rabu (1/3/2023) mengatakan tidak ada tanda-tanda Ukraina siap menggelar pembicaraan damai. Sebaliknya, Kiev justru mengeluarkan ultimatum perang.
Dalam wawancara dengan portal berita Rusia lenta.ru, Galuzin menyebut Rusia dan Ukraina tahun lalu memang mengadakan sejumlah pembicaraan dan menyetujui draf perjanjian perdamaian Maret tahun lalu di Istanbul.
Menurut dia, ada sekitar 17 versi berkaitan dengan draf itu, dan terakhir dikirim ke Ukraina pada 15 April dan belum dijawab.
"Tampaknya karena melihat kemungkinan bahwa Rusia dan Ukraina mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama, Washington dan Londonmelarang (Presiden Ukraina) Volodymyr Zelenskyy untuk melanjutkan perundingan," kata Galuzin.
Kemudian pada 30 September, Zelenskyy mengeluarkan pernyataan bahwa tak mungkin berunding dengan presiden Rusia (Vladimir Putin).
Galuzin mengatakan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya NATO menentang perdamaian karena sudah mengeluarkan dana terlalu banyak di Ukraina, yang bagi mereka menjadi alat untuk melemahkan dan mengisolasi Rusia, merusak tatanan keamanan dan mempertahankan hegemoni mereka.
Diplomat itu memastikan bahwa draf perjanjian perdamaian itu mengusulkan pemberian jaminan keamanan kepada Ukraina, akan tetapi jaminan itu diberikan dengan syarat, yakni netralitas, status non blok dan bebas nuklir, pengakuan atas realitas ada wilayah baru, menolak ideologi Nazi, demiliterisasi, menghargai hak warga minoritas dan pemulihan status bahasa Rusia.
Mengenai kemungkinan Ukraina masuk Uni Eropa, Galuzin mengatakan blok tersebut telah berubah dalam beberapa tahun terakhir, dari asosiasi integrasi ekonomi netral yang independen menjadi struktur militer internasional yang memusuhi Rusia.
Dia menyebutkan pada 2020, Uni Eropa mendirikan Europe Peace Foundation untuk membiayai perang di Ukraina, melatih tentara Ukraina, memasok senjata dan menjatuhkan sanksi terkait perang kepada Rusia.
"Oleh karena itu menjadi anggota Uni Eropa saat ini adalah bergabung dengan uni yang agresif yang tidak bisa menjamin netralitas," tekan Galuzin.
Galuzin mengatakan Rusia tidak memasuki wilayah Ukraina karena Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia dan Khersonsudah bergabung secara sukarela dengan Rusia.
Ia mengatakan masyarakat di wilayah-wilayah itu membuat pilihan secara bebas dan sadar melalui sebuah referendum yang relevan.
Mengenai kembali ke meja perundingan, Galuzin mengatakan proses tersebut tak dihentikan oleh pihaknya melainkan oleh pihak Ukraina.
"Hingga hari ini, kami tidak melihat tanda-tanda bahwa (Ukraina) serius menyelesaikan situasi dengan cara damai. Namun dengan jalan yang sebaliknya. Hanya populis dan ultimatum perang yang terdengar dari Kiev," kata dia.
Pada saat yang sama, Galuzin yakin banyak warga Ukraina menginginkan perdamaian dan pemulihan hubungan dengan Rusia.
Dia menegaskan Zelenskyy memenangkan pemilihan presiden Ukraina berkat janji mengakhiri konflik di Donbas.
Galuzin menyayangkan janji-janji selama pemilihan umum berubah menjadi slogan kosong dan kebohongan. Volodymyr Zelenskyy selama kurang dari tiga tahun menuruti saran Washington dan membuat Ukraina berada dalam konflik bersenjata melawan Rusia.
Saat ditanya mengenai kerjasama Rusia dengan Belarus, Galuzin mengatakan Belarusmemahami kekhawatiran Rusia dan mengerahkan segala cara untuk mengorganisir pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina.
Dia menambahkan bahwa sanksi atas Rusia dan Belarustelah mempererat hubungan kedua negara.
"Angkatan bersenjata Belarustidak turut langsung dalam operasi khusus, tetapi kemampuan bertempur mereka, didukung oleh kontingen pasukan gabungan Rusia-Belarusdi wilayah republik itu, adalah kekuatan penangkal yang serius bagi rezim Ukraina," tandas Galuzin.
Dia mengungkapkan bahwa latihan militer bersama Rusia-Belarusdigelar agar kedua negara siaga menangkal potensi serangan ketika kondisi situasi geopolitik menjadirumit dan adanya negara tetangga yang bermusuhan.