REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Krisis atas dugaan peracunan yang menargetkan siswi sekolah Iran meningkat pada Ahad (5/3/2023). Pihak berwenang mengakui lebih dari 50 sekolah diserang dalam gelombang kemungkinan kasus tersebut.
Menteri Dalam Negeri Ahmad Vahidi, setidaknya 52 sekolah telah terkena dugaan peracunan. Laporan media Iran telah menyebutkan jumlah lebih dari 60 sekolah. Setidaknya terdapat satu sekolah anak laki-laki dilaporkan telah terpengaruh.
Peracunan telah menyebarkan ketakutan lebih lanjut di kalangan orang tua. Masih belum jelas siapa atau apa yang bertanggung jawab sejak dugaan peracunan yang dimulai pada November di kota suci Syiah Qom.
Laporan terbaru menunjukkan, sekolah di 21 dari 30 provinsi Iran telah melaporkan kasus yang dicurigai saling berkaitan. Sekolah anak perempuan menjadi lokasi hampir semua insiden kejadian.
Menurut Vahidi pada Sabtu (4/3/2023), para penyelidik telah menemukan "sampel mencurigakan" dalam penyelidikan atas insiden tersebut. Dia menyerukan ketenangan kepada masyarakat.
Vahidi menuduh "terorisme media musuh" menghasut lebih banyak kepanikan atas dugaan peracunan. Namun, baru setelah peracunan mendapat perhatian media internasional, Presiden Ebrahim Raisi mengumumkan penyelidikan atas insiden tersebut pada Rabu (1/3/2023).
Video orang tua dan siswi yang kesal di ruang gawat darurat dengan infus di tangan mereka telah membanjiri media sosial. Serangan terhadap perempuan telah terjadi di masa lalu di Iran, terakhir dengan gelombang serangan air keras pada 2014 di sekitar Isfahan, pada saat itu diyakini dilakukan oleh kelompok garis keras yang menargetkan perempuan karena cara mereka berpakaian.
Tapi pendidikan untuk anak perempuan tidak pernah ditentang selama lebih dari 40 tahun sejak Revolusi Islam 1979. Bahkan Iran telah menyerukan kepada Taliban di negara tetangga Afghanistan untuk mengembalikan anak perempuan dan perempuan ke sekolah.
Dalam beberapa hari terakhir, menteri luar negeri Jerman, seorang pejabat Gedung Putih, dan lainnya telah meminta Iran untuk berbuat lebih banyak untuk melindungi siswi. Hanya saja, kekhawatiran ini oleh Kementerian Luar Negeri Iran dianggap sebagai "air mata buaya."
Tapi, Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional mencatat bahwa Iran terus memberi toleransi serangan terhadap perempuan dan anak perempuan selama berbulan-bulan di tengah protes baru-baru ini.
“Peracunan ini terjadi di lingkungan di mana pejabat Iran memiliki impunitas atas pelecehan, penyerangan, pemerkosaan, penyiksaan, dan eksekusi perempuan secara damai yang menegaskan kebebasan beragama atau berkeyakinan mereka,” kata Sharon Kleinbaum dari komisi tersebut dalam sebuah pernyataan.
Spekulasi di media sosial berfokus pada kemungkinan kelompok pengasingan atau kekuatan asing berada di balik keracunan tersebut. Wartawan Iran, termasuk Jamileh Kadivar, mantan anggota parlemen reformis terkemuka di surat kabar //Ettelaat Teheran//, telah mengutip komunike dari sebuah kelompok yang menamakan dirinya Fidayeen Velayat.
Kelompok itu mengatakan, pendidikan anak perempuan dianggap terlarang. Mereka mengancam akan menyebarkan peracunan anak perempuan di seluruh Iran jika sekolah perempuan tetap buka. Para pejabat Iran belum mengakui kelompok apa pun yang disebut Fidayeen Velayat yang secara kasar diterjemahkan sebagai Penganut Perwalian.
Kadivar menulis pada Sabtu, kemungkinan lain adalah "histeria massal". Ada kasus sebelumnya selama beberapa dekade terakhir, terakhir di Afghanistan dari 2009 hingga 2012. Kemudian, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menulis tentang "penyakit psikogenik massal" yang menyerang ratusan anak perempuan di sekolah di seluruh negeri.
"Laporan tidak menyenangkan sebelum munculnya gejala telah memberi pengaruh pada teori keracunan massal. "Namun, investigasi penyebab wabah ini sejauh ini tidak menghasilkan bukti seperti itu," tulis WHO saat itu.
Iran belum mengakui meminta bantuan badan kesehatan dunia dalam penyelidikannya.