Selasa 07 Mar 2023 05:55 WIB

Korban Gempa Suriah Alami Crush Syndrome

Sindrome muncul akibat anggota tubuh tertimpa reruntuhan bangunan dalam waktu lama

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Warga setempat berdoa dan membaca kitab suci Alquran di lokasi reruntuhan gempa. Para dokter di Suriah mengatakan, sebagian besar korban gempa yang selamat dari reruntuhan mengalami crush syndrome.
Foto: EPA EFE/SEDAT SUNA
Warga setempat berdoa dan membaca kitab suci Alquran di lokasi reruntuhan gempa. Para dokter di Suriah mengatakan, sebagian besar korban gempa yang selamat dari reruntuhan mengalami crush syndrome.

REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB -- Para dokter di Suriah mengatakan, sebagian besar korban gempa yang selamat dari reruntuhan mengalami crush syndrome. Sindrome ini muncul akibat anggota tubuh tertimpa reruntuhan bangunan dalam jangka waktu yang lama.

Salah satu korban yang mengalami crush syndrome adalah Nour Abdelqader yang berusia dua tahun. Dia berhasil ditarik keluar dari bawah reruntuhan di Kota Jandaris yang dikuasai pemberontak setelah gempa bumi mematikan pada Februari lalu. Tim penyelamat mengira dia sudah mati. Namun jantung balita itu masih berdetak ketika dia tiba di sebuah rumah sakit di Afrin, barat laut Suriah. Saudara laki-laki dan ibu Nour tidak selamat dari gempa tersebut.

Dokter mengatakan, Nour menderita crush syndrome setelah anggota tubuhnya terjepit di bawah puing-puing yang berat untuk waktu lama. Gadis kecil itu kehilangan kaki kanannya karena komplikasi dari luka tekan yang cukup parah. Dokter sekarang berusaha memberikan perawatan dan dukungan yang diperlukan untuk membantunya belajar kembali cara berjalan.

“Kedua kaki Nour rusak parah saat gempa. Kami harus mengamputasi satu kaki karena luka yang tertimpa terlalu parah, yaitu anggota badan ini sudah mati dan terinfeksi,” kata Abdelsalam al-Naasan, seorang ahli bedah ortopedi di Rumah Sakit Akrabat, sebuah fasilitas yang terletak di sepanjang perbatasan Suriah-Turki di Kota Idlib yang dikuasai pemberontak dan didanai oleh Union of Medical Care and Relief Organizations (UOSSM).

Nour akan membutuhkan kaki kanan prostetik dan masih membutuhkan operasi yang rumit dan prosedur khusus untuk mengembalikan fungsi kaki kirinya. Al-Naasan menambahkan, perawatan optimal tidak tersedia di barat laut Suriah.

“Apa yang bisa kami tawarkan di sini (di Suriah) mungkin membuatnya cacat atau cacat jangka panjang," ujar al-Naasan, dilaporkan Aljazirah, Senin (6/3/2023).

Bibi Nour, Fransa al-Manadi, memahami bahwa kesembuhan keponakannya akan lama dan sulit. Namun berharap bisa melihat keponakannya berjalan lagi.

“Saya sangat senang dia masih hidup, meski dengan satu kaki. Saya tahu perawatannya akan sulit, tapi saya harap dia akan hidup senormal mungkin," ujar al-Manadi

Menurut pejabat kesehatan di barat laut Suriah, ratusan dari 12.000 orang yang terluka akibat gempa telah didiagnosis dengan crush syndrome. Crush syndrome terjadi ketika anggota tubuh kekurangan sirkulasi darah untuk jangka waktu yang lama, sehingga menyebabkan serat otot mati dan racun dilepaskan ke aliran darah.  Sindrom ini dapat mengakibatkan amputasi tungkai, gagal ginjal, cedera organ multisistem, dan komplikasi fatal lainnya. Setidaknya 100 korban gempa yang menderita crush syndrome telah didiagnosis gagal ginjal.

"Crush Syndrome sangat berbahaya karena mioglobin dan potasium (bahan beracun) yang dilepaskan ke aliran darah dapat menyebabkan cedera dan gagal ginjal,” kata al-Naasan.

Al-Naasan menjelaskan, setidaknya 300 orang telah didiagnosis dengan Crush Syndrome di Rumah Sakit Akrabat. Selain memerlukan dialisis ginjal, banyak pasien dengan sindrom ini membutuhkan perawatan spesialis dan prosedur yang kompleks untuk mengobati luka pada organ yang rusak. Termasuk rehabilitasi untuk membantu mengembalikan penggunaan dan fungsi anggota tubuh mereka.  

“Banyak yang mungkin cacat penuh atau sebagian tergantung pada tingkat kerusakan pada anggota tubuh mereka,” kata al-Naasan.

Al-Naasan menjelaskan, pasien dengan crush syndrome tidak hanya membutuhkan terapi fisik. Tetapi juga dukungan kesehatan mental untuk membantu mereka mengatasi trauma pengalaman mereka.

“Ada banyak kebutuhan dan tidak cukup untuk dibagikan. Tapi kami melakukan semua yang kami bisa untuk membantu," ujar al-Nassan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement