REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Para perempuan menantang larangan resmi pawai Hari Perempuan Internasional di Istanbul, Turki, pada Rabu (8/3/2023). Mereka berdemonstrasi selama sekitar dua jam sebelum polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa.
Ribuan orang berkumpul di lingkungan pusat untuk protes yang hak-hak perempuan. Mereka juga menyerukan tentang nasib korban gempa mematikan yang melanda Turki dan Suriah sebulan lalu.
Penyelenggara pawai sebelumnya telah dilarang berbaris di trotoar Istiklal di kota terbesar Turki tempat pawai Hari Perempuan diadakan sejak 2003. Polisi memblokir akses demonstran ke jalan tersebut.
Jurnalis Associated Press melihat petugas menahan setidaknya 30 orang. Polisi juga menggunakan gas air mata setelah kelompok tersebut mengakhiri demonstrasi pada pukul 21.00 waktu setempat.
Otoritas setempat melarang pawai tersebut dengan alasan daerah itu bukan tempat demonstrasi resmi. Mereka juga mengklaim pawai tersebut dapat memprovokasi segmen masyarakat Turki.
Pawai dinilai dapat menyebabkan serangan verbal atau fisik, disalahgunakan oleh kelompok teror, dan mengancam keamanan nasional. Kegiatan itu dituduh membatasi kebebasan bergerak di kawasan budaya dan wisata.
Mahasiswa teater berusia 28 tahun bernama Lale Pesket mengatakan, pembatasan tersebut tidak adil. “Kami tidak merugikan siapa pun, tapi sayangnya kami dihadapkan dengan kekerasan polisi setiap saat,” katanya.
"Satu-satunya perhatian kami adalah emansipasi perempuan, kami ingin ruang bebas di dunia tanpa kekerasan dan kondisi ekonomi yang lebih baik, terutama bagi perempuan," ujar Pesket.
Para pengunjuk rasa memegang spanduk bertuliskan "kami marah, kami berduka" untuk lebih dari 46 ribu orang yang meninggal akibat gempa. Gedung-gedung secara luas dianggap tidak aman dan ratusan ribu kehilangan tempat tinggal dalam gempa 6 Februari.
Salah satu spanduk bertuliskan “pengawasan kontraktor, bukan perempuan,” mengacu pada kontraktor yang dituduh mengabaikan peraturan bangunan dan berkontribusi terhadap kehancuran.
“Hidup sebagai perempuan di Turki sudah cukup sulit dan salah satu alasan kami berada di sini adalah... gempa bumi... dan orang-orang yang tertinggal di bawah reruntuhan,” kata mahasiswa universitas berusia 23 tahun Gulsum Ozturk.
Penyelenggara protes juga mengecam pemerintah karena menarik diri dari perjanjian Eropa yang ditandatangani pada 2011 di Istanbul. Perjanjian tersebut melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga dan tindakan itu dinilai akan membahayakan kehidupan jutaan perempuan.
Platform We Will Stop Femicides Turki mengatakan, 328 perempuan dibunuh oleh laki-laki dalam satu tahun terakhir.