Jumat 17 Mar 2023 18:55 WIB

Harapan dan Ketidakpastian Berkelindan di Irak 

Anak muda Irak tidak akan berhenti sampai negara mereka lebih baik.

Rep: Lintar Satria Zulfikar/ Red: Ferry kisihandi
 Orang-orang yang berjalan di sepanjang Rasheed Street tercermin dalam potret hitam-putih Presiden Irak Saddam Hussein di Bagdad, Irak, 26 Februari 2003 (Diterbitkan 15 Maret 2023). Pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat melancarkan invasi militer ke Irak pada 19 Maret 2003 menyusul mantan Presiden George W. Bush, dan klaim pemerintahannya bahwa Irak telah menimbun senjata pemusnah massal.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pada suatu malam baru-baru ini di pinggir Sungai Tigris sekelompok pemuda dan pemudi Irak mengenakan celana jins dan sepatu kets menari bahagia di depan rapper lokal. Dunia yang jauh dari teror yang mengikuti invasi AS 20 tahun lalu.

Kehidupan di Ibu Kota Irak, Baghdad semarak, warga menikmati kedamaian yang langka dalam sejarah modern negara itu. Pasar buku padat pengunjung. Pemuda kaya memamerkan mobil mereka. Gedung-gedung mewah dibangun di atas lahan yang pernah dijatuhi bom.

Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush menggambarkan invasi ke Irak sebagai upaya membebaskan rakyat Irak, menggulingkan diktator yang sudah berkuasa seperempat abad. Namun, juga memecah belah persatuan negara di jantung Arab.

Dari 2003 sampai 2019, sekitar 300 ribu warga Irak tewas dalam invasi itu termasuk lebih dari 8.000 personel militer, kontraktor, dan warga sipil AS. Separuh dari populasi Irak saat ini belum cukup umur untuk mengingat masa pemerintahan Presiden Saddam Hussein.

Kini banyak pemuda-pemudi Irak  menyesalkan kekacauan setelah jatuhnya Saddam. Tapi juga banyak yang mengharapkan kebebasan dan kesempatan. Di ruang tamunya, Presiden Irak Abdul Latih Rashid yang dilantik Oktober lalu mengatakan masa depan Irak akan gemilang.

Menurutnya persepsi Irak sebagai negara yang hancur oleh perang sudah menghilang. Kini Irak kaya dan damai. "Bila anak-anak muda sedikit bersabar, saya pikir kehidupan akan berubah drastis di Irak," katanya, Kamis (16/3/2023).

Sebagian warga Irak tak terlalu berharap. Percakapan dimulai dengan kepahitan bagaimana AS meninggalkan Irak dalam kehancuran. Tapi anak-anak muda Irak siap untuk mengubah masa depan.

Safa Rashid, seorang penulis, mendiskusikan politik dengan teman-temannya di kedai kopi di Distrik Karada, Baghdad. Pria berusia 26 tahun itu mengatakan setelah invasi Irak hancur, kekerasan di mana-mana.  Kini ia dan teman-teman sepemikiran dapat berbicara bebas tentang solusinya. "Saya pikir anak muda mencoba mengatasi situasi ini," katanya. 

Aktivis politik dan mahasiswa doktoral Noor Alhuda Saad mengatakan, generasinya memimpin unjuk rasa mengecam korupsi, menuntut layanan lebih baik dan pemilu lebih inklusif. Menurutnya anak muda Irak tidak akan berhenti sampai negara mereka lebih baik.

Tembok-tembok yang hancur oleh bom kini digantikan papan-papan billboards, restoran, kafe, dan pusat perbelanjaan. Sebagai kota yang dihuni tujuh juta orang, Baghdad kota terbesar kedua di Timur Tengah, jalananya penuh pertokoaan.

Masih terjadi beberapa bentrokan di utara dan barat Irak dengan anggota ISIS yang tersisa. Tapi itu hanya salah satu masalah Irak. Masalah lainnya, korupsi. Hasil audit 2022 menemukan jaringan mantan pejabat dan pengusaha mencuri 2,5 miliar dolar AS.

Pada 2019 dan 2020 anak muda Irak menggelar unjuk rasa antikorupsi dan buruknya layanan pemerintah. Setelah 600 orang tewas oleh pasukan pemerintah dan milisi, parlemen menggelar pemilu membuka pintu ke lebih banyak kelompok untuk berbagi kekuasaan.

 

sumber : ap
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement