Selasa 21 Mar 2023 06:15 WIB

Pemimpin Garda Revolusi Iran Disebut Mendukung Invasi AS ke Irak

Irak dan Iran berperang dari 1980 hingga 1988 di bawah pemerintahan Saddam Hussein.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Jenderal Qassem Soleimani (tengah). Pemimpin Kurdi Irak Masoud Barzani, mengatakan, mendiang komandan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) Qassem Soleimani mendukung invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak.
Foto: Office of the Iranian Supreme Leader via AP,
Jenderal Qassem Soleimani (tengah). Pemimpin Kurdi Irak Masoud Barzani, mengatakan, mendiang komandan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) Qassem Soleimani mendukung invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pemimpin Kurdi Irak Masoud Barzani, mengatakan, mendiang komandan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) Qassem Soleimani mendukung invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Asharq al-Awsat yang diterbitkan pada Ahad (19/3/2023), Barzani mengungkapkan bahwa dia telah bertemu dengan Soleimani sebelum invasi ke Irak pada 2003.

Barzani menyatakan, ketika itu Soleimani bertanggung jawab atas arsip Irak di pemerintah Iran. Ketika ditanya apakah Soleimani mendukung invasi ke Irak dan penggulingan Saddam Hussein, Barzani menjawab "ya".

Baca Juga

Barzani juga menjelaskan bahwa Iran tidak dapat secara terbuka mengumumkan dukungan mereka untuk invasi pimpinan AS. Tetapi Iran melihat penggulingan Saddam Hussein sebagai kemenangan besar. Barzani merupakan pemimpin Partai Demokratik Kurdistan (KDP) dan menjabat sebagai Presiden Kurdistan Irak dari 2005 hingga 2017.

Irak dan Iran sebelumnya berperang dari 1980 hingga 1988 di bawah pemerintahan Saddam Hussein. Soleimani tewas dalam serangan udara AS di Irak pada 3 Januari 2020, atas perintah mantan presiden Donald Trump.

Pada 2003, mantan presiden AS, George W Bush membuat keputusan untuk menggulingkan Saddam Hussein secara paksa, dan menginvasi Irak. Jumlah pasukan AS yang terbatas menyebabkan munculnya perselisihan etnis. Penarikan pasukan AS pada 2011 semakin memperumit kebijakan Washington di Timur Tengah.

Berakhirnya pemerintahan Saddam Hussein yang merupakan Sunni minoritas, dan berganti dengan pemerintah mayoritas Syiah di Irak membebaskan Iran untuk memperdalam pengaruhnya di Levant, terutama di Suriah, ketika pasukan Iran dan milisi Syiah membantu Bashar al-Assad menghancurkan pemberontakan Sunni dan tetap berkuasa.

Penarikan pasukan AS dari Irak pada 2011 meninggalkan kekosongan yang diisi oleh militan ISIS, yang merebut sekitar sepertiga wilayah Irak dan Suriah. Kehadiran ISIS menimbulkan ketakutan di antara negara-negara Teluk Arab, dan mereka tidak dapat mengandalkan Amerika Serikat.  

Setelah pasukan AS ditarik pada 2011, mantan presiden Barack Obama mengirim kembali pasukannya ke Irak pada 2014. Kemudian pada 2015, Obama mengerahkan pasukan ke Suriah dengan sekitar 900 tentara berada di lapangan. Pasukan AS di kedua negara itu memerangi militan ISIS yang juga aktif dari Afrika Utara hingga Afghanistan.

"Ketidakmampuan, keengganan kami, untuk meletakkan palu dalam hal keamanan di negara itu memungkinkan terjadinya kekacauan, yang memunculkan ISIS," kata mantan wakil menteri luar negeri Richard Armitage, yang menyalahkan kegagalan AS untuk mengamankan Irak.

Armitage bertugas di bawah Bush Republik ketika Amerika Serikat menginvasi Irak. Armitage mengatakan, invasi AS merupakan kesalahan strategis yang sama besarnya dengan invasi Hitler ke Uni Soviet pada 1941, yang membantu kekalahan Jerman dalam Perang Dunia Kedua. Menurut Armitage, biaya keterlibatan AS di Irak dan Suriah sangat besar.

Menurut perkiraan yang diterbitkan oleh proyek Costs of War di Universitas Brown, biaya yang dikeluarkan AS hingga saat ini untuk perang di Irak dan Suriah mencapai 1,79 triliun dolar AS. Biaya itu termasuk pengeluaran Pentagon dan Departemen Luar Negeri, perawatan veteran, dan bunga atas utang pembiayaan konflik. Perawatan veteran diproyeksikan berlangsung hingga 2050, dam meningkat menjadi 2,89 triliun dolar AS.

Proyek Costs of War memperkirakan  kematian militer AS di Irak dan Suriah selama 20 tahun terakhir mencapai 4.599. Proyek ini juga memperkirakan total kematian, termasuk warga sipil Irak dan Suriah, militer, polisi, pejuang oposisi, media, dan lainnya sebesar 550.000 hingga 584.000.

Kematian ini  mencakup mereka yang terbunuh sebagai akibat langsung dari perang tetapi tidak termasuk kematian tidak langsung yang diperkirakan karena penyakit, pemindahan atau kelaparan.

Kredibilitas AS juga menderita karena keputusan Bush untuk menginvasi Irak berdasarkan intelijen palsu yang dibesar-besarkan. Ketika itu, Bush menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal (WMD). Namun tuduhan Bush itu tidak terbukti.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement