Jumat 24 Mar 2023 06:35 WIB

Buntut Surat Penangkapan Putin, ICC Khawatirkan Ancaman Rusia

Ada ancaman dari Rusia usai ICC menerbitkan surat perintah penangkapan Putin

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah menyatakan keprihatinan atas adanya semacam ancaman dari Rusia menyusul keputusannya menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Vladimir Putin
Foto: EPA-EFE/MIKHAIL METZEL/SPUTNIK/KREMLIN
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah menyatakan keprihatinan atas adanya semacam ancaman dari Rusia menyusul keputusannya menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Vladimir Putin

REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG – Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah menyatakan keprihatinan atas adanya semacam ancaman dari Rusia menyusul keputusannya menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Vladimir Putin. Kepresidenan Majelis Negara Pihak ICC menyesalkan ancaman tersebut karena dianggap menghalangi upaya internasional untuk memastikan akuntabilitas atas tindakan yang melanggar hukum internasional umum.

Majelis Negara Pihak ICC menegaskan dukungan tak tergoyahkan kepada ICC. “ICC mewujudkan komitmen bersama kita untuk melawan impunitas atas kejahatan internasional yang paling parah. Sebagai institusi terakhir, ICC melengkapi yurisdiksi nasional. Kami meminta semua negara untuk menghormati independensi peradilan dan penuntutannya,” kata Kepresidenan Majelis Negara Pihak ICC dalam sebuah pernyataan, Rabu (22/3/2023), dikutip laman Aljazirah.

Baca Juga

Pada Senin (20/3/2023) lalu, Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev membuat komentar yang menyinggung tentang menyerang gedung ICC dengan rudal. “Sangat mungkin membayangkan rudal hipersonik ditembakkan dari Laut Utara dari kapal Rusia ke gedung pengadilan Den Haag,” ujarnya merujuk pada gedung ICC.

"Semua orang berjalan di bawah Tuhan dan rudal. Perhatikan baik-baik ke langit,” kata Medvedev menambahkan. Pernyataan Medvedev dipandang sebagai ancaman tersirat kepada ICC yang baru saja menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Vladimir Putin.

Pada 17 Maret lalu ICC mengumumkan bahwa mereka telah menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Vladimir Putin. Dia dituduh melakukan kejahatan perang karena diduga terlibat dalam penculikan anak-anak di Ukraina. “(Putin) diduga bertanggung jawab atas kejahatan perang berupa deportasi penduduk (anak-anak) yang tidak sah dan pemindahan penduduk (anak-anak) yang tidak sah dari wilayah pendudukan Ukraina ke Federasi Rusia,” kata ICC dalam sebuah pernyataan.

ICC juga menerbitkan surat penangkapan untuk Komisaris Hak Anak di Kantor Kepresidenan Rusia Alekseyevna Lvova-Belova. Dia dituduh melakukan kejahatan serupa seperti Putin. ICC mengatakan bahwa majelis pra-sidangnya menemukan ada alasan logis untuk percaya bahwa setiap tersangka memikul tanggung jawab atas kejahatan perang berupa deportasi penduduk dan pemindahan penduduk yang tidak sah dari wilayah pendudukan Ukraina ke Federasi Rusia, dengan prasangka anak-anak Ukraina.

Rusia seketika menghujat keputusan ICC. “Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Vladimir Putin. Tidak perlu menjelaskan di mana kertas ini harus digunakan,” tulis Dmitry Medvedev di akun Twitter resminya seraya menempelkan emotikon tisu toilet, sesaat setelah pengumuman ICC.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova turut angkat bicara atas keputusan ICC menerbitkan surat penangkapan terhadap Putin. Dia mengingatkan bahwa Moskow bukan pihak dalam Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan ICC. Oleh karena itu, Rusia tidak memiliki kewajiban di bawahnya. “Keputusan Mahkamah Pidana Internasional tidak ada artinya bagi negara kami, termasuk dari sudut pandang hukum,” kata Zakharova lewat saluran Telegram-nya.

Rusia sebenarnya menandatangani Statuta Roma pada tahun 2000. Namun ia tidak pernah meratifikasinya untuk menjadi anggota ICC. Moskow akhirnya menarik tanda tangannya pada 2016. Kala itu Rusia berada di bawah tekanan internasional atas perampasan dan aneksasi Krimea secara sepihak dari Ukraina pada 2014, serta kampanye serangan udara di Suriah untuk mendukung perang Presiden Bashar al-Assad melawan kelompok oposisi bersenjata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement