Senin 27 Mar 2023 12:13 WIB

Internet Buruk Jadi Kendala Perempuan Afghanistan Belajar Daring

Belajar secara daring jadi upaya terakhir untuk mengatasi pembatasan Taliban

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Para siswi yang mengikuti kelas dasar duduk di ruang kelas pada awal tahun ajaran baru di Kabul, Afghanistan, Sabtu (25/3/2023). Tahun pendidikan baru Afghanistan dimulai, tetapi sekolah menengah atas tetap ditutup untuk anak perempuan untuk tahun kedua setelah Taliban kembali berkuasa pada tahun 2021.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Sofia masuk ke kelas kursus bahasa Inggris yang berlangsung secara online di Kabul. Kelas ini dijalankan oleh salah satu lembaga pendidikan yang mencoba menjangkau anak perempuan dan perempuan Afghanistan secara digital di rumah mereka. Tetapi ketika guru memanggil Sofia untuk membaca sebuah bagian, layar komputernya membeku.

"Bisakah kamu mendengarku?" ujar Sofia bertanya berulang kali, sambil memeriksa koneksinya.

Baca Juga

Setelah beberapa saat, komputer Sofia bisa hidup kembali. Jaringan internet yang buruk membuat para siswa perempuan yang belajar secara daring menjadi frustasi. Sofia (22 tahun) adalah salah satu dari banyak perempuan Afghanistan yang belajar secara daring, sebagai upaya terakhir untuk mengatasi pembatasan Taliban. Sejak kembali mengambil alih Afghanistan pada Agustus 2021, Taliban memberlakukan larangan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan.

Salah satu perubahan paling mencolok sejak Taliban pertama kali berkuasa dari tahun 1996 hingga 2001, adalah meledaknya internet. Hampir tidak ada yang memiliki akses ke internet ketika Taliban dipaksa turun dari kekuasaan pada minggu-minggu setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.

Setelah hampir dua dekade intervensi dan keterlibatan yang dipimpin Barat dengan dunia, sebanyak 18 persen populasi Afghanistan memiliki akses internet. Pemerintahan Taliban telah mengizinkan anak perempuan untuk belajar secara individu di rumah.

Tetapi anak perempuan dan perempuan menghadapi sejumlah masalah mulai dari pemadaman listrik, hingga kecepatan internet yang sangat lambat. Terlebih biaya komputer dan wifi di negara di Afghanistan cukup tinggi.

"Untuk anak perempuan di Afghanistan, kami memiliki masalah internet yang sangat buruk," kata Sofia.

Sekolah daring Sofia, yaitu Akademi Rumi, mengalami jumlah pendaftaran siswa yang meningkat dari sekitar 50 siswa menjadi lebih dari 500 setelah Taliban kembali berkuasa. Sebagian besar siswa di Akademi Rumi adalah perempuan. Seorang perwakilan Akademi Rumi mengatakan, masih ada ratusan formulir pendaftaran yang masuk tapi belum diterima karena akademi kekurangan dana untuk guru dan membayar peralatan, serta paket internet.

Seorang siswa perempuan lainnya, Sakina Nazari mencoba kelas bahasa secara virtual di rumahnya di barat Kabul selama seminggu. Dia terpaksa meninggalkan universitas pada Desember karena larangan Taliban. Tapi Nazari tidak melanjutkan kelas daringnya karena masalah internet yang buruk membuatnya frustasi.

"Aku tidak bisa melanjutkan. Terlalu sulit untuk mengakses internet di Afganistan dan terkadang kami memiliki setengah jam listrik dalam 24 jam," ujar Nazari.

Ookla yang berbasis di Seattle dan menyusun kecepatan internet global, menempatkan internet seluler Afghanistan sebagai yang paling lambat dari 137 negara. Sementara jaringan internet Afghanistan sebagai yang paling lambat kedua dari 180 negara.

Beberapa warga Afghanistan telah mengajukan permintaan kepada Kepala Eksekutif SpaceX Elon Musk untuk memperkenalkan layanan internet satelitnya Starlink ke Afghanistan. Seperti yang telah dilakukan di Ukraina dan Iran, beberapa warga Afghanistan mengajukan permintaan bantuan di Twitter

"Kami juga meminta Elon Musk untuk membantu kami. Jika mereka dapat (memperkenalkan Starlink) itu di Afghanistan, itu akan sangat, sangat berdampak bagi perempuan," ujar Sofia.

Sofia mengatakan wanita Afghanistan telah terbiasa dengan masalah selama bertahun-tahun perang dan mereka akan bertahan dalam kondisi apa pun yang terjadi. "Kami masih memiliki mimpi dan kami tidak akan pernah menyerah," ujarnya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement