Selasa 28 Mar 2023 11:47 WIB

AS Yakin Israel tak akan Terseret ke Perang Sipil

Israel dilanda gelombang penolakan atas rencana pemerintah mereformasu peradilan.

Rep: Kamran Dikarma, Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
 Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel,  Senin (27/3/2023). Protes massal telah diadakan di Israel selama 12 minggu menentang rencana pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan dan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung Israel.
Foto: EPA-EFE/ABIR SULTAN
Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel, Senin (27/3/2023). Protes massal telah diadakan di Israel selama 12 minggu menentang rencana pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan dan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Amerika Serikat (AS) terus memantau perkembangan situasi di Israel. Meski pergolakan masih berlangsung akibat gelombang penolakan atas upaya pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melakukan reformasi yudisial, Washington yakin hal itu tak akan memicu perang saudara.

“Presiden tidak khawatir bahwa Israel akan beralih ke perang saudara apa pun,” kata Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby saat ditanya awak media apakah Presiden AS Joe Biden khawatir kekerasan di Israel berisiko menjadi perang sipil, Senin (27/3/2023), dikutip laman Al Arabiya.

Baca Juga

Kendati demikian, Kirby mengungkapkan, AS tetap khawatir atas upaya pemerintahan Netanyahu yang terus mendorong rancangan undang-undang (RUU) reformasi peradilan. Namun Kirby menyebut, proses check and balances dalam pemerintahan memperkuat masyarakat demokratis.

Tak lama berselang setelah Kirby menyampaikan pernyataannya, Netanyahu akhirnya mengumumkan jeda dalam upaya legislasi yang dimaksudkan merombak sistem peradilan di negaranya. “Dari rasa tanggung jawab nasional, dari keinginan untuk mencegah perpecahan di antara rakyat kita, saya telah memutuskan untuk menghentikan pembacaan kedua dan ketiga dari rancangan undang-undang (RUU) tersebut,” kata Netanyahu dalam pidatonya pada Senin malam, dikutip laman Times of Israel.

Netanyahu mengaku ingin menghindarkan Israel dari perang saudara akibat pergolakan yang timbul dari upaya mereformasi sistem yudisial. “Ketika ada kesempatan untuk menghentikan perang saudara melalui dialog, saya sebagai perdana menteri meluangkan waktu untuk berdialog. Saya memberikan kesempatan nyata untuk dialog nyata,” ucapnya.

Kendati demikian, Netanyahu tetap bertekad mendorong pengesahan RUU reformasi sistem yudisial. “Kami mendukung kebutuhan untuk melakukan perubahan yang diperlukan pada sistem hukum dan kami akan memberikan kesempatan untuk mencapainya melalui konsensus yang luas,” ujarnya.

“Bagaimanapun, kami akan meloloskan reformasi yang akan memulihkan keseimbangan yang telah hilang antara cabang-cabang pemerintahan sambil mempertahankan – dan, saya tambahkan penguatan hak-hak individu,” kata Netanyahu menambahkan.

Meski gelombang demo penolakan sudah berlangsung selama tiga bulan terakhir, seperti telah dinyatakan, pemerintahan Netanyahu akan tetap mendorong parlemen Israel (Knesset) mengesahkan RUU yang akan memberikan pemerintah keputusan akhir atas semua penunjukan yudisial. Pemerintahan Netanyahu pun mendorong Knesset meratifikasi RUU yang akan memberi parlemen wewenang untuk membatalkan keputusan Mahkamah Agung dan membatasi tinjauan yudisial atas UU.

Netanyahu dan sekutunya mengatakan rencana perundang-undangan itu akan mengembalikan keseimbangan antara cabang yudisial dan eksekutif. Selain itu, upaya perombakan sistem hukum tersebut dinilai bakal mengendalikan apa yang mereka lihat sebagai pengadilan intervensionis dengan simpati liberal.

Namun para kritikus mengatakan UU itu akan menghapus sistem check and balances Israel dan memusatkan kekuasaan di tangan koalisi pemerintahan. Mereka juga mengatakan bahwa Netanyahu, yang diadili atas tuduhan korupsi, memiliki konflik kepentingan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement