REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Filipina akan mengajukan banding kepada Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Malina mempertanyakan yurisdiksi dan otoritas ICC untuk menyelidiki pembunuhan selama periode perang melawan narkoba mantan presiden Rodrigo Duterte.
"Banding tidak akan ditarik. Kami akan mengejarnya," kata Jaksa Agung Menardo Guevarra yang merupakan menteri kehakiman pada masa pemerintahan Duterte.
Guevarra mengatakan, pernyataan Presiden Ferdinand Marcos Jr menyatakan, Filipina akan keluar dari ICC setelah menghabiskan upaya hukum dalam kerangka Statuta Roma. Pernyataan itu muncul setelah Marcos mengatakan bulan lalu, bahwa dia akan memutuskan kontak dengan ICC.
ICC sebelumnya menolak permintaan pemerintah Filipina untuk menangguhkan penyelidikan atas ribuan pembunuhan selama kampanye anti-narkotika yang brutal.
ICC menyetujui pada September 2021 dalam penyelidikan formal atas kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan yang diduga dilakukan di bawah kepemimpinan Duterte. Namun ICC menangguhkan penyelidikannya pada November 2021 atas permintaan Manila yang mengatakan sedang melakukan penyelidikannya sendiri. Penyelidikan ICC baru dibuka kembali pada Januari 2023.
Filipina mengatakan, ICC tidak boleh memaksakan negara yang tidak lagi menandatangani pengadilan internasional. Duterte secara resmi menarik diri dari pengadilan tersebut pada 2019, menuduh badan tersebut berprasangka buruk.
Tapi jaksa agung ICC Karim Khan mengatakan, badan tersebut memiliki yurisdiksi karena negara tersebut adalah salah satu pihak pada saat kejahatan yang dituduhkan dilakukan. Khan meminta pengadilan pada 4 April untuk menolak banding Manila dan menegakkan keputusan sebelumnya untuk mengizinkan dimulainya kembali penyelidikan.
Khan mengatakan, dugaan kejahatan itu sangat serius dan paling tidak didorong dan dimaafkan oleh pejabat tinggi pemerintah, termasuk Duterte. Mengutip informasi yang tersedia, Khan mengatakan, sebanyak 30 ribu warga sipil dibunuh oleh polisi atau orang tak dikenal, meski diduga bertindak berkoordinasi dengan polisi.
Polisi Filipin mengatakan, 6.200 tersangka tewas dalam operasi anti-narkoba yang berakhir dengan tembak-menembak. Namun petugas keamanan itu menolak tuduhan kelompok hak asasi manusia atas eksekusi sistematis dan sikap menutup-nutupi.